PENDIDIKAN
DAN MASYARAKAT
FUNGSI
DAN PERANAN PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT
PENGEMBANGAN
MASYARAKAT MELALUI PENDIDIKAN SECARA SISTEMIK
Pendekatan
sistemik terbadap pengembangan melalui pendidikan adalah pendekatan di mana
masyarakat tradisional sebagai input dan pendidikan sebagai suatu lembaga
pendidikan masyarakat sebagai pelaksana proses pengembangan dan masyarakat yang
dicita-citakan sebagai outputnya yang dicita-citakan.
Menurut
Ki Hajar Dewantoro ada tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Dari
ketetapan MPR No. 1!/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara kita
mengetahui bahwa pendidikan itu merupakan tanggung jawab bersama antara orang
tua, pemerintah dan masyarakat.
Dari dua
penjelasan tersebut di atas maka bentuk pendidikan dibagi menjadi tiga bentuk
yaitu pendidikan formal, pendidikan informal dan
pendidikan non formal (Undang-Undang nomor 2/1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional).
Pelaksanaan
ketiga bentuk pendidikan adalah lembaga pemerintah, lembaga keluarga, lembaga
keagamaan dan lembaga pendidikan lain. Lembaga keluarga menyelenggarakan
pendidikan informal, lembaga
pemerintah, lembaga keagamaan, lembaga pendidikan yang lain menyelenggarakan
pendidikan formal maupun pendidikan nonfonnal. Bentuk-bentuk pendidikan
nonformal cukup banyak jenisnya, seperti berbagai macam kursus kcterampilan
yang mempersiapkan tenaga terampil. Seperti kursus menjahit, kursus komputer,
kursus montir, kursus bahasa-bahasa asing dan sebagainya. Bentuk pendidikan
formal yang beçjalan ini terdiri dari empat jenjang yaitu SD, SLTP, SLTA dan
Perguruan Tinggi. Menurut Undang Undang Nomor : 2/1989, tentang jenjang
pendidikan dibagi menjadi tiga jenjang yaitu Pendidikan Dasar, Pendidikan
Menengah dan Pendidikan Tinggi. Pendidikan Dasar terdiri dari Sekolah Dasar dan
Sekolab Menengah Tingkat Pertama.
Proses
pendidikan dari tiga bentuk pendidikan itu dipengaruhi oleh sistem politik dan
ekonomi. (Muhammad Dimyati,
1988 p, 163). Dengan adanya bermacam-macam jenis politik dan bermacam-macam
kondisi ekonomi maka arah proses pendidikan akan bermacam-macam untuk
masing-masing bentuk pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga, pemerintah,
lembaga keagamaan dan lembaga-lembaga non-agama.
PERANAN
PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT
Sebagian
besar masyarakat modern memandang lembaga-lembaga pendidikan sebagai peranan
kunci dalam mencapai tujuan sosial Pemerintah bersama orang tua telah
menyediakan anggaran pendidikan yang diperlukan sceara besar-besaran untuk
kemajuan sosial dan pembangunan bangsa, untuk mempertahankan nilai-nilai
tradisional yang berupa nilai-nilai luhur yang harus dilestarikan seperti rasa
hormat kepada orang tua, kepada pemimpin kewajiban untuk mematuhi hukum-hukum
dan norma-norma yang berlaku, jiwa patriotisme dan sebagainya. Pendidikan juga
diharapkan untuk memupuk rasa takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan
kemajuan-kemajuan dan pembangunan politik, ekonomi, sosial dan pertahanan
keamanan. Pendek kata pendidikan dapat diharapkan untuk mengembangkan wawasan
anak terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan
keamanan secara tepat dan benar, sehingga membawa kemajuan pada individu
masyarakat dan negara untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
Berbicara
tentang fungsi dan peranan pendidikan dalam masyarakat ada bermacam-macam
pendapat, di bawah ini disajikan tiga pendapat tentang fungsi pendidikan dalam
masyarakat.
Wuradji
(1988) menyatakan bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif mempunyai
fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Fungsi sosialisasi, (2) Fungsi kontrol
sosial, (3) Fungsi pelestarian budaya Masyarakat, (4) Fungsi latihan dan
pengembangan tenaga kerja, (5) Fungsi seleksi dan alokasi, (6) Fungsi
pendidikan dan perubahan sosial, (7) Fungsi reproduksi budaya, (8) Fungsi difusi
kultural, (9) Fungsi peningkatan sosial, dan (10) Fungsi modifikasi sosial. (
Wuradji, 1988, p. 31-42).
Jeane
H. Ballantine (1983) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu
sebagai berikut: (1) fungsi sosialisasi, (2) fungsi seleksi, latihan dan
alokasi, (3) fungsi inovasi dan perubahan sosial, (4) fungsi pengembangan
pribadi dan sosial (Jeanne H. Ballantine, 1983, p. 5-7).
Meta Spencer dan Alec Inkeles (1982) menyatakan
bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) memindahkan
nilai-nilai budaya, (2) nilai-nilai pengajaran, (3) peningkatan mobilitas
sosial, (4) fungsi stratifikasi, (5) latihan jabatan, (6) mengembangkan dan
memantapkan hubungan hubungan sosial (7) membentuk semangat kebangsaan, (8)
pengasuh bayi.
Dari
tiga pendapat tersebut di atas, tidak ada perbedaan tetapi saling melengkapi
antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain.
1)
Fungsi Sosialisasi.
Di
dalam masyarakat pra industri, generasi baru belajar mengikuti pola perilaku
generasi sebelumnya tidak melalui lembaga-lembaga sekolah seperti sekarang ini.
Pada masyarakat pra industri tersebut anak belajar dengan jalan mengikuti atau
melibatkan diri dalam aktivitas orang-orang yang telah lebih dewasa. Anak-anak
mengamati apa yang mereka lakukan, kemudian menirunya dan anak-anak belajar
dengan berbuat atau melakukan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang
yang telah dewasa. Untuk keperluan tersebut anak-anak belajar bahasa atau
simbol-simbol yang berlaku pada generasi tua, menyesuai kan diri dengan nilai-nilai
yang berlaku, mengikuti pandangannya dan memperoleh keterampilan-keterampilan
tertentu yang semuanya diperoleh lewat budaya masyarakatnya. Di dalam situasi
seperti itu semua orang dewasa adalah guru, tempat di mana anak-anak meniru,
mengikuti dan berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih
dewasa. Mulai dari permulaan, anak-anak telah dibiasakan berbuat sebagaimana
dilakukan oleh generasi yang lebih tua. Hal itu merupakan bagian dari
perjuangan hidupnya. Segala sesuatu yang dipelajari adalah berguna dan berefek
langsung bagi kehidupannya sehari-hari. Hal ini semua bisa terjadi oleh karena
budaya yang berlaku di dalam masyarakat, di mana anak menjadi anggotanya,
adalah bersifat stabil, tidak berubah dan waktu ke waktu, dan statis.
Dengan semakin
majunya masyarakat, pola budaya menjadi lebih kompleks dan memiliki
diferensiasi antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, antara yang
dianut oleh individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan perkataan lain
masyarakat tersebut telah mengalami perubahan-perubahan sosial.
Ketentuan-ketentuan untuk berubah ini sebagaimana telah disinggung di
halaman-halaman situs web ini sebelumnya, mengakibatkan terjadinya setiap
transmisi budaya dan satu generasi ke generasi berikutnya selalu menjumpai
permasalahan-permasalahan. Di dalam suatu masyarakat sekolah telah melembaga
demikian kuat, maka sekolah menjadi sangat diperlukan bagi upaya
menciptakan/melahirkan nilai-nilai budaya baru (cultural reproduction).
Dengan
berdasarkan pada proses reproduksi budaya tersebut, upaya mendidik anak-anak
untuk mencintai dan menghormati tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah
mapan adalah menjadi tugas dari sekolah. Termasuk di dalam lembaga-lembaga
sosial tersebut diantaranya adalah keluarga, lembaga keagamaan, lembaga
pemerintahan dan lembaga-lembaga ekonomi. Di dalam permulaan masa-masa
pendidikannya, merupakan masa yang sangat penting bagi pembentukan dan
pengembangan pengadopsian nilai-nilai ini. Masa-rnasa pembentukan dan
pembangunan upaya pengadopsian ini dilakukan sebelum anak-anak mampu memiliki
kemampuan kritik dan evaluasi secara rasional.
Sekolah-sekolah
menjanjikan kepada anak-anak gambaran tentang apa yang dicita-citakan oleh
lembaga-lembaga sosialnya. Anak-anak didorong, dibimbing dan diarahkan untuk
mengikuti pola-pola prilaku orang-orang dewasa melalui cara-cara ritual
tertentu, melalui drama, tarian, nyanyian dan sebagainya, yang semuanya itu
merupakan ujud nyata dari budaya masyarakat yang berlaku. Melalui cara-cara
seperti itu anak. anak dibiasakan untuk berlaku sopan terhadap orang tua,
hormat dan patuh terhadap norma-norma yang berlaku. Lembaga-lembaga agama
mengajarkan bagaimana penganutnya berbakti kepada Tuhannya berdasarkan tata
cara tertentu.
Lembaga-lembaga
pemerintahan mengajarkan bagaimana anak kelak apabila telah menjadi warga
negara penuh, memenuhi kewajiban-kewajiban negara, memiliki jiwa patriotik dan
memiliki kesadaran berwarga negara. Semua ajaran dan pembiasaan tersebut pada
permulaannya berlangsung melalui proses emosional, bukan proses kognitif.
Dalam
proses belajar untuk mengikuti pola acuan bagi tatanan masyarakat yang telah
mapan dan melembaga, anak-anak belajar untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai
tradisional di mana institusi tradisional tersebut dibangun. Keseluruhan proses
di mana anak-anak belajar mengikuti pola-pola dan nilai-nilai budaya yang
berlaku tersebut dinamakan proses sosialisasi. Proses sosialisasi tersebut
harus beijalan dengan wajar dan mulus oleh karena kita semua mengetahui betapa
pentingnya masa-masa permulaan proses sosialisasi. Orang tua dan keluarga
berharap sekolah dapat melaksanakan proses sosialisasi tersebut dengan baik.
Dalam lembaga-lembaga ini guru-guru di sekolah dipandang sebagai model dan
dianggap dapat mengemban amanat orang tua (keluarga dan masyarakat) agar
anak-anak- memahami dan kemudian mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakatnya.
Willard Waller dalam hubungan ini menganggap sekolah, terutama di daerah-daerah
pedesaan sebagai museum yang menyimpan tentang nilai-nilai kebajikan (mnuseum
of virture) (Pardius and Parelius, 1978; p. 24). Dengan anggapan tersebut,
masyarakat menginginkan sekolah beserta staf pengajarnya harus mampu
mengajarkan nilai-nilai kebajikan dari masyarakatnya (the old viture), atau
keseluruhan nilai-nilai yang diyakini dan menjadi anutan dan pandangan
masyarakatnya. Untuk memberikan pendidikan mengenai kedisiplinan, rasa hormat
dan patuh kepada pemimpin, kemauan kerja keras, kehidupan bernegara dan
kehidupan demokrasi, menghormati, nilai-nilai perjuangan bangsa, rasa keadilan
dan persamaan, aturan-aturan hukum dan perundang-undangan dan sebagainya,
kiranya lembaga utama yang paling berkompeten adalah lembaga pendidikan.
Sekolah
mengemban tugas untuk melaksanakan upaya-upaya mengalihkan nilai-nilai budaya
masyarakat dengan mengajarkan nilai-nilai yang menjadi way of life masyarakat
dan bangsanya. Untuk memenuhi fungsi dan tugasnya tersebut sekolah menetapkan
program dan kurikulum pendidikan, beserta metode dan tekniknya secara
paedagogis, agar proses transmisi nilai-nilai tersebut berjalan lancar dan
mulus.
Dalam
hubungannya dengan transmisi nilai-nilai, terdapat beragam budaya antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, dan antara negara yang satu
dengan negara yang lain. Sebagai contoh sekolah-sekolah keguruan di Uni Soviet
dan Amerika. Di Uni Soviet guru-guru harus mengajarkan rasa solidaritas dan
rasa tanggung jawab untuk menyatu dengan kelompoknya dengan mengembangkan
sistem kompetisi di antara mereka. Sementara di Amerika Serikat guru harus
mengembangkan kemampuan untuk hidup mandiri dan kemampuan bersaing dengan
melakukan upaya-upaya kompetisi penuh di antara siswa-siswa.
2)
Fungsi kontrol sosial
Sekolah
dalam menanamkan nilai-nilai dan loyalitas terhadap tatanan tradisional
masyarakat harus juga berfungsi sebagai lembaga pelayanan sekolah untuk
melakukan mekanisme kontrol sosial. Durheim menjelaskan bahwa petididikan moral
dapat dipergunakan untuk menahan atau mengurangi sifat-sifat egoisme pada
anak-anak menjadi pribadi yang merupakan bagian masyarakat yang integral di
mana anak harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial. (Jeane H.
Bellatine, 1983, p.8). Melalui pendidikan semacam ini individu mengadopsi
nilai-nilai sosial dan melakukan interaksi nilai-niiai tersebut dalam kehidupannya
sehari-hari Selanjutnya sebagai individu sebagai anggota masyarakat ia juga
dituntut untuk memberi dukungan dan berusaha untuk mempertahankan tatanan
sosial yang berlaku.
Sekolah
sebagai lembaga yang berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan
tatanan-tatanan sosial serta kontrol sosial mempergunakan program-program
asimilasi dan nilai-nilai subgrup beraneka ragam, ke dalam nilai-nilai yang
dominan yang memiliki dan menjadi pola anutan bagi sebagiai masyarakat.
Sekolah
berfungsi untuk mempersatukan nilai-nilai dan pandangan hidup etnik yang
beraneka ragam menjadi satu pandangan yang dapat diterima seluruh etnik. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa sekolah berfungsi sebagai alat pemersatu dan
segala aliran dan pandangan hidup yang dianut oleh para siswa. Sebagai contoh
sekolah di Indonesia, sekolah harus menanamkan nilai-nilai Pancasila yang
dianut oleh bangsa dan negara Indonesia kepada anak-anak di sekolah.
3)
Fungsi pelestarian budaya masyarakat.
Sekolah
di samping mempunyai tugas untuk mempersatu budaya-budaya etnik yang beraneka
ragam juga harus melestanikan nilai-nilai budaya daerah yang masih layak
dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti dan suatu
upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah dan sebagainya.
Fungsi
sekolah berkaitan dengan konservasi nilai-nilai budaya daerah ini ada dua
fungsi sekolah yaitu pertama sekolah digunakan sebagai salah satu lembaga
masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional masyarakat dari suatu
masyarakat pada suatu daerah tertentu umpama sekolah di Jawa Tengah, digunakan
untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa Tengah, sekolah di Jawa Barat
untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Sunda, sekolah di Sumatera Barat untuk
mempertahankan nilai-nilai budaya Minangkabau dan sebagainya dan kedua sekolah
mempunyai tugas untuk mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa dengan
mempersatukan nilai-nilai yang ada yang beragam demi kepentingan nasional.
Untuk
memenuhi dua tuntutan itu maka perlu disusun kurikulum yang baku yang berlaku
untuk semua daerah dan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan
nilai-nilai daerah tertentu.
Oleh
karena itu sekolah harus menanamkan nilai-nilai yang dapat menjadikan anak itu
menjadi yang mencintai daerahnya dan mencintai bangsa dan tanah airnya.
4)
Fungsi seleksi, latihan dan pengembangan tenaga kerja.
Jika
kita amati apa yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka menyiapkan tenaga
kerja untuk suatu jabatan tertentu, maka di sana akan terjadi tiga kegiatan
yaitu kegiatan, latihan untuk suatu jabatan dan pengembangan tenaga kerja
tertentu.
Proses
seleksi ini terjadi di segala bidang baik mau masuk sekolah maupun mau masuk
pada jabatan tertentu. Untuk masuk sekolah tertentu harus mengikuti ujian
tertentu, untuk masuk suatu jabatan tertentu harus mengikuti testing kecakapan
tertentu. Sebagai contoh untuk dapat masuk pada suatu sekolah menengah tertentu
harus menyerahkan nllai EBTA Murni (NEM). Dan nilai NEM yang masuk dipilih
nilai NEM yang tinggi dari nilai tertentu sampai nilai yang terendah. Jika
bukan nilai yang menjadi persyaratan yang ketat tetapi biaya sekolah yang tak
terjangkau untuk masuk sekolah tertentu. Oleh karena itu anak yang nilainya
rendah dan ekonominya lemah tidak kebagian sekolah yang mutunya tinggi.
Demikian pula untuk memangku jabatan pada pekerjaan tertentu, mereka yang
diharuskan mengikuti seleksi dengan berbagai cara yang tujuannya untuk
memperoleh tenaga kerja yang cakap dan terampil sesuai dengan jabatan yang akan
dipangkunya.
Sekolah
sebagai lembaga yang berfungsi untuk latihan dan pengembangan tenaga kerja
mempunyai dua hal. Pertama sekolah digunakan untuk menyiapkan tenaga kera
profesional dalam bidang spesialisasi tertentu. Untuk memenuhi ini berbagai
bidang studi dibuka untuk menyiapkan tenaga ahli dan terampil dan berkemampuan
yang tinggi dalam bidangnya. Kedua dapat digunakan untuk memotivasi para
pekerja agar memiliki tanggung jawab terhadap kanier dan pekerjaan yang
dipangkunya.
Sekolah
mengajarkan bagaimanan menjadi seorang yang akan memangku jabatan tertentu,
patuh terhadap pimpinan, rasa tanggung jawab akan tugas, disiplin mengerjakan
tugas sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Sekolah juga mendidik agar
seseorang dapat menghargai harkat dan martabat manusia, memperlakukan manusia
sebagai manusia, dengan memperhatikan segala bakat yang dimilikinya demi
keberhasilan dalam tugasnya.
Sekolah
mempunyai fungsi pengajaran, latihan dan pendidikan. Fungsi pengajaran untuk
menyiapkan tenaga yang cakap dalam bidang keahlian yang ditekuninya. Fungsi latihan
untuk mendapatkan tenaga yang terampil sesuai dengan bidangnya, sedang fungsi
pendidikan untuk menyiapkan seorang pribadi yang baik untuk menjadi seorang
pekerja sesuai dengan bidangnya. Jadi fungsi pendidikan ini merupakan
pengembangan pribadi sosial.
5)
Fungsi pendidikan dan perubahan sosial.
Pendidikan
mempunyai fungsi untuk mengadakan perubahan sosial mempunyai fungsi (1)
melakukan reproduksi budaya, (2) difusi budaya, (3) mengembangkan analisis
kultural terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional, (4) melakukan
perubahan-perubahan atau modifikasi tingkat ekonomi sosial tradisional, dan (5)
melakukan perubahan-perubahan yang lebih mendasar terhadap institusi-institusi
tradisional yang telah ketinggalan.
Sekolah
berfungsi sebagai reproduksi budaya menempatkan sekolah sebagai pusat
penelitian dan pengembangan. Fungsi semacam ini merupakan fungsi pada perguruan
tinggi. Pada sekolah-sekolah yang lebih rendah, fungsi ini tidak setinggi pada
tingkat pendidikan tinggi.
Pada
masa-masa proses industrialisasi dan modernisasi pendidikan telah mengajarkan
nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru, seperti orientasi ekonomi,
orientasi kemandirian, mekanisme kompetisi sehat, sikap kerja keras, kesadaran
akan kehidupan keluarga kecil, di mana nilai-nilai tersebut semuanya sangat
diperlukan bagi pembangunan ekonomi sosial suatu bangsa. Usaha-usaha sekolah
untuk mengajarkan sistem nilai dan perspektif ilmiah dan rasional sebagai lawan
dan nilai-nilai dan pandangan hidup lama, pasrah dan menyerah pada nasib,
ketiadaan keberanian menanggung resiko, semua itu telah diajarkan oleh sekolah
sekolah sejak proses modernisasi dari perubahan sosial Dengan menggunakan
cara-cara berpikir ilmiah, cara-cara analisis dan pertimbangan-pertimbangan
rasional serta kemampuan evaluasi yang kritis orang akan cenderung berpikir
objektif dan lebih berhasil dalam menguasai alam sekitarnya.
Lembaga-lembaga
pendidikan disamping berfungsi sebagai penghasil nilai-nilai budaya baru juga
berfungsi penghasil nilai-nilai budaya baru juga berfungsi sebagai difusi
budaya (cultural diffission). Kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial yang kemudian
diambil tentu berdasarkan pada hasil budaya dan difusi budaya. Sekolah-sekolah
tersebut bukan hanya menyebarkan penemuan-penemuan dan informasi-informasi baru
tetapi juga menanamkan sikap-sikap, nilai-nilai dan pandangan hidup baru yang
semuanya itu dapat memberikan kemudahan-kemudahan serta memberikan dorongan
bagi terjadinya perubahan sosial yang berkelanjutan.
Fungsi
pendidikan dalam perubahan sosial dalam rangka meningkatkan kemampuan analisis
kritis berperan untuk menanamkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai baru
tentang cara berpikir manusia. Pendidikan dalam era abad modern telah berhasil
menciptakan generasi baru dengan daya kreasi dan kemampuan berpikir kritis,
sikap tidak mudah menyerah pada situasi yang ada dan diganti dengan sikap yang
tanggap terhadap perubahan. Cara-cara berpikir dan sikap-sikap tersebut akan
melepaskan diri dari ketergantungan dan kebiasaan berlindung pada orang lain,
terutama pada mereka yang berkuasa. Pendidikan ini terutama diarahkan untuk
mempenoleh kemerdekaan politik, sosial dan ekonomi, seperti yang diajukan oleh
Paulo Friere. Dalam banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju,
pendidikan orang dewasa telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga masalah
kemampuan kritis ini telah berlangsung dengan sangat intensif. Pendidikan
semacam itu telah berhasil membuka mata masyarakat terutama didaerah pedesaan
dalam penerapan teknologi maju dan penyebaran penemuan baru lainnya.
Pengaruh
dan upaya pengembangan berpikir kritis dapat memberikan modifikasi (perubahan)
hierarki sosial ekonomi. Oleh karena itu pengembangan berpikir knitis bukan
saja efektif dalam pengembangan pnibadi seperti sikap berpikir kritis, juga
berpengaruh terhadap penghargaan masyarakat akan nilai-nilai manusiawi,
perjuangan ke arah persamaan hak-hak baik politik, sosial maupun ekonomi. Bila
dalam masyarakat tradisional lembaga-lembaga ekonomi dan sosial didominasi oleh
kaum bangsawan dan golongan elite yang berkuasa, maka dengan semakin pesatnya
proses modernisasi tatanan-tatanan sosial ekonomi dan politik tersebut diatur
dengan pertimbangan dan penalaran-penalaran yang rasional. Oleh karena itu
timbullah lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik yang berasaskan keadilan,
pemerataan dan persamaan. Adanya strata sosial dapat terjadi sepanjang
diperoleh melalui cara-cara objektif dan keterbukaan, misalnya dalam bentuk
mobilitas vertikal yang kompetitif.
6)
Fungsi Sekolah dalam Masyarakat
DI
muka telah dibicarakan tentang adanya tiga bentuk pendidikan yaitu pendidikan
formal, pendidikan informal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal disebut
juga sekolah. Oleh karena itu sekolah bukan satu-satunya lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan tetapi masih ada lembaga-lembaga lain yang juga
menyelenggarakan pendidikan. Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan mempunyai
dua fungsi yaitu (1) sebagai partner masyarakat dan (2) sebagai penghasil
tenaga kerja. Sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi oleh corak pengalaman
seseorang di dalam lingkungan masyarakat. Pengalarnan pada berbagai kelompok
masyarakat, jenis bacaan, tontonan serta aktivitas-aktivitas lainnya dalam
masyarakat dapat mempengaruhi fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah.
Sekolah juga berkepentingan terhadap perubahan lingkungan seseorang di dalam
masyarakat. Perubahan lingkungan itu antara lain dapat dilakukan melalui fungsi
layanan bimbingan, penyediaan forum komunikasi antara sekolah dengan lembaga
sosial lain dalam masyarakat. Sebaliknya partisipasi sadar seseorang untuk
selalu belajar dari lingkungan masyarakat, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh
tugas-tugas belajar serta pengarahan belajar yang dilaksanakan di sekolah.
Fungsi
sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi pula oleh sedikit banyaknya
serta fungsional tidaknya pendayagunaan sumber-sumber belajar di masyarakat.
Kekayaan sumber belajar dalam masyarakat seperti adanya orang-orang sumber,
perpustakaan, museum, surat kabar, majalah dan sebagainya dapat digunakan oleh sekolah
dalam menunaikan fungsi pendidikan.
Sebagai
produser kebutuhan pendidikan masyarakat sekolah dan masyarakat memiliki ikatan
hubungan rasional di antara keduanya. Pertama, adanya kesesuaian antara fungsi
pendidikan yang dimainkan oleh sekolah dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.
Kedua, ketepatan sasaran atau target pendidikan yang ditangani oleh lembaga
persekolahan akan ditentukan pula o!eh kejelasan perumusan kontrak antara
sekolah selaku pelayan dengan masyarakat selaku pemesan. Ketiga, keberhasilan
penunaian fungsi sekolah sebagai layanan pesanan masyarakat sebagian akan
dipengaruhi oleh ikatan objektif di antara keduanya.
Ikatan
objektif ini dapat berupa perhatian, penghargaan dan tunjangan tertentu seperti
dana, fasilitas dan jaminan objektif lainnya yang memberikan makna penting
eksistensi dan produk sekolahan.
PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT
MODERN DAN SEDERHANA
Supratman Zakir, M. Pd., M. Kom
A. PENDAHULUAN
Setiap
individu dalam masyarakat merupakan potensi yang harus dikembangkan untuk
mendukung dan melancarkan kegiatan pembangunan dalam masyarakat tersebut.
Manusia sebagai individu, sebagaimana kodratnya memiliki sifat baik maupun
buruk. Sifat-sifat yang kurang baik inilah perlu dibina dan dirubah sehingga
melahirkan sifat-sifat yang baik lalu dibina dan dikembangkan. Proses perubahan
dan pembinaan tersebut disebut dengan pendidikan.
Melalui
pendidikan, manusia diharapkan menjadi individu yang mempunyai kemampuan dan
keterampilan untuk secara mandiri meningkatkan taraf hiudupnya baik lahir
maupun bathin serta meningkatkan peranannya sebagai individu/pribadi, warga
masyarakat, warga Negara dan sebagai khalifah-Nya.
B. PENDIDIKAN
Berbicara
mengenai pendidikan tidak terlepas dari sudut pandang serta pendekatan yang
digunakan. Untuk melihat pendidikan secara utuh maka diperlukan suatu
pendekatan system, sehingga pendidikan dilihat secara menyeluruh dan tidak lagi
parsial atau pragmatis.
Pendidikan
merupakan suatu proses, dimana proses tersebut dapat berlangsung dimana dan
kapan saja, tidak hanya dalam lingkungan yang formal seperti di sekolah atau
kampus karena pendidikan tidak hanya sekolah atau kuliah. Perkembangan
seseorang mulai dari kecil, remaja sampai dewasa, di sekolah, di masyarakat dan
di rumah merupakan proses pendidikan yang menyeluruh.
Menurut
Pannen (2001 : 1) pendidikan digambarkan sebagai suatu kesatuan yang terdiri
dari subsistem-subsistem dan membentuk satu sistem yang utuh. Sistem pendidikan
ini memperoleh input dari masyarakat dan lingkungan serta akan memberikan
output bagi masyarakat dan lingkungan tersebut.
Sedangkan
menurut UU SPN No. 20 Tahun 2003, Pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
C. MASYARAKAT
MODERN
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengakibatkan munculnya perubahan dalam
masyarakat. Semakin maju perkembangan dalam masyarakat maka semakin banyak pula
keperluan yang harus dipenuhi.
Masyarakat
modern dalam lingkungan kebudayan ditandai dengan perkembangan kemajuan ilmu
dan teknologi untuk menghadapi keadaan sekitarnya. Menurut R. Tilaar (1979 :
17), ada beberapa indicator masyarakat modern dan disimpulkan oleh penulis
(kelompok) sebagai berikut :
1. Saling
mempengaruhi antara manusia dan lingkungan dengan tujuan menciptakan perubahan secara
timbal balik
2. Usaha
untuk mengeksplorasi lingkungan dalam rangka untuk mengatasi
tantangan-tantangan yang ditimbulkan dari lingkungan itu sendiri.
3. Dorongan
rasa ingin tahu dan ingin mengatasi tantangan-tantangan menyebabkan manusia
ingin mengusasi lingkungan
4. Berpikir
lebih objektif dan rasional
5. Selalu
berusaha untuk memahami semua gejala yang dihadapi dan bagaimana
mengorganisasikannya sehingga kehidupannya lebih baik
Dalam
masyarakat modern segala sesuatu diusahakan atau dikerjakan dengan
sungguh-sungguh serta rasional sehingga menyebabkan selalu timbul pertanyaan
dalam masyarakat apakah kegunaan sesuatu bagi usaha menguasai lingkungan
sekitarnya. Akibat dari kehidupan tersebut, maka akan timbul sikap dalam masyarakat
modern, diantaranya :
1. Terlalu
percaya dengan peralatan dan teknik yang berjalan secara mekanis sebagai satu
hasil pemikiran manusia (Ilmu pengetahuan). Dalam hal ini masyarakat tergolong
dalam paham positivisme
2. Berbuat
dan bertindak sesuai dengan rencana yang terperinci sehingga tidak jarang
manusia dikendalikan oleh rencana yang disusunnya.
3. Timbol
rasa kehilangan orientasi dan jati diri yang dapat melemahkan kehidupan bathin
dan keagamaan.
Tanpa
disadari masyarakat modern semakin tergantung pada alat dan teknologi yang
diciptakan untuk menguasai dunia sekitarnya. Tidak jarang mereka kehilangan
identitas karena sudah dikuasai oleh mekanisme yang mereka ciptakan sehingga
mereka hidup tanpa jiwa dan tanpa kekuasaan.
Dalam
masyarakat modern (komplek – penduduk rapat) kompleksitas dan kerapatan
pendudukak yang tinggi membuat mereka kurang sensitive terhadap emosional
mereka apalagi masalah keagamaan mereka. Mereka cenderung ragu-ragu
dalam memilih kepercayaan (Imran Manan : 1989 : 53).
Yang
paling fundamental dalam masyarakat modern adalah kepercayaan akan kemajuan
ilmu pengetahuan. Bagi mereka, masa depan bersifat terbuka. Mereka percaya
bahwa kondisi kemanusiaan, fisik, spiritual dapat diperbaiki dengan penggunaan
sain dan teknologi.
Beberapa
akibat dari kehidupan masyarakat modern adalah mereka terasing secara kehidupan
social yang disebabkan oleh pertumbuhan urbanisme yang mendorong mobilitas dan
melemahkan ikatan-ikatan kekeluargaan.
D. MASYARAKAT
SEDERHANA (TRADISIONAL)
Sikap
berpikir subjektif yang menyatukan dirinya dalam memahami gejala yang timbul
merupakan salah satu ciri masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang
sederhana. Masyarakat sederhana (tradisional) masih bersikap untuk berpikir
secara massif (pola pikir yang tidak objektif dan rasional) untuk menganalisis,
menilai dan menghubungkan suatu gejala dengan gejala yang lain.
Manusia
yang hidup tradisional (sederhana) biasanya masih ditandai dengan sikap
berpikir analogis dengan mengadakan generalisasi, penggunaan waktu secara
subjektif serta kurang mengenal waktu secara fisik.
Masyarakat
sederhana menurut Robert Redfield dalam Imran Manan (1983 : 52)
mengistilahkannya dengan “Folk Sociaty” yaitu masyarakat yang
kecil, homogen, sangat terintegrasi, terasing, solidaritas kelompok yang
tinggi, pembagian kerja yang sederhana, sebagian anggota masyarakat memiliki
pengetahuan dan perhatian yang sama dan biasa dengan pemikiran, sikap-sikap dan
aktivitas dari seluruh anggota masyarakat.
Komuniktas
masyarakat sederhana menimbang segala-galanya dengan prinsip-prinsip yang telah
baku, mereka cendrung untuk berubah sangat lambat.
E. PENDIDIKAN
DALAM MAYARAKAT SEDERHANA DAN MODERN
Sangat
berbeda dengan masyarakat modern, anak-anak masyarakat sederhana turut serta
secara aktif dalam kehidupan masyarakat. Dari umur muda mereka diharapka
mempunyai tanggung jawab sesuai dengan kekuatan dan pengalamannya.
Masyarakat
sederhana mempunyai pengetahuan yang kurang terspesialisasi dan sedikit
keterampilan yang diajarkan membuat mereka tiada keperluan rasanya untuk
menciptakan institusi yang terpisah bagi pendidikan sepeti sekolah. Sebagai
gantinya anak-anak memperoleh warisan budaya dengan mengamati dan meniru orang
dewasa dalam berbagai kegiatan seperti upacara, berburu, pertanian dan panen.
Dalam
kebudayaan masyarakat sederhana agen pendidikan yang formal termasuk di
dalamnya kelauarga dan kerabat. Sedangkan sekolah muncul relative terlambat
dalam lingkungan masyarakat sederhana. Adapun beberapa kondisi menurut Imran
Manan (1989 : 57) yang mendorong timbulnya lembaga pendidikan (sekolah) dalam
masyarakat sederhana adalah :
1. Perkembangan
agama dan kebutuhan untuk mendidik para calon ulama, pendeta, dll.
2. Pertumbuhan
dari dalam (lingkungan masyarakat itu sendiri) atau pengaruh dari luar.
3. Pembagian
kerja dalam masyarakat yang menuntut keterampilan dan dan teknik khusus.
4. Konflik
dalam masyarakat yang mengancam nilai-nilai tradisional dan akhirnya menuntut pendidikan
untuk menguatkan penerimaan nilai-nilai warisan budaya.
Untuk
mempelajari sesuatu biasanya anak-anak dalam masyarakat sederhana akan
pergi kepada orang yang mereka anggap ahlinya. Mereka pempelajrinya tidak hanya
hal tersebut secara universal disetujui bahwa ada hal-hal tertentu yang harus
diketahui untuk perkembangan mereka dan hubungannya dengan kehidupan mereka
masa sekarang dan akan dating. Artinya mereka belajar untuk kelangsungan
hidupnya.
Dalam
mempelajari keterampilan anak-anak masyarakat sederhana selalu memiliki
hubungan yang intim dengan visi orang dewasa, sehingga menimbulkan nilai-nilai
kekeluargaan yang erat di antara mereka. Begitu juga dengan guru-guru, sangat
terikat tidak hanya dengan murd-murudnya, yang mungkin anggota kerabatnya,
tetapi juga kepada hasil dari apa yang diajarkannya. Jika ia gagal
mengkomunikasikan keterampilannya secara efektif, dia akan dapat merasakan
langsung akibatnya dengan segera.
Dalam
suatu masyarakat sederhana tidak mempunyai orang yang khusus berfungsi mengajar.
Anggota-anggota masyarakat yang lebih tua mengajar kelaurga yang muda, walupun
untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti untuk menjadi guru mengaji, sebagai
penceramah, dll. Sebagai hasilnya mereka yang mengajar turut serta secara penuh
dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya, karena guru-guru dalam masyarakat
langsung mempraktekkan apa yang mereka ajarkan, seperti seorang guru mengaji
langsung mempraktekkan apa yang mereka ajarkan, seorang ahli bertani langsung
mempraktekkan apa yang akan mereka wariskan (ajarkan) kepada pewarisnya, dll.
Dalam
masyarakat sederhana pembelajaran menjadi lebih mudah sebab objek pembelajaran
selalu dapat diperoleh. Walaupun begitu di sejumlah masyarakat sederhana ada
juga sejumlah pengetahuan khusus yang mesti diajarkan dengan jelas, karena
pengetahuan ini dipercayai menjamin kelangsungan dan kesuburan masyarakat.
Sedangkan
dalam masyarakat modern pendidikan memisahkan anak dari orang tuanya untuk
memperoleh ketampilan (ilmu pengetahuan dan teknologi) serta akan membutuhkan
waktu yang lebih panjang dari pada masyarakat sederhana. Dengan didirikannya
lemabaga-lembaga formal (sekolah) membuat mereka lebih banyak terpisah dengan
lingkungan masyarakat nmereka sedniri. Hal ini mengakibatkan anak-anak dalam
masyarakat meodern akan terasing dengan lingkungan masyarakatnya yang pada
akhirnya akan mengurangi kepedulian diantara mereka.
Dalam
masyarakat modern pengetahuan yang akan diajarkan akan membutuhkan seorang
tenaga pengajar yang professional. Hal ini berimplikasi dengan cara pandang
mereka bawah mereka akan dapat memetik keuntungan ataupun kerugian dari
spesialisasi, pengetahuan dan keahlian yang telah mereka kuasai.
Dengan
adanya tenaga-tenega professional, lembaga formal, serta sarana-dan parsaran
yang memadai akan melahirkan masyarakat modern yang juga akan memiliki
kaulifikasi atau kompetensi sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam
perencanaan pembelajaran.
Akan
tetapi kebanyakan tenaga pengejar (guru) dalam masyarakat modern cenderung
mangajarkan sesuatu kepada muridnya jauh dengan realita yang ada. Sebagai
contoh seorang guru bidang ekonomi yang mengajarkan cara menjadi manager
keuangan, tidak akan terlibat langsung menjadi manager keuangan. Hal ini
berimplikasi kepada jauhnya sesuatu apa yang mereka pelajari dari diri dan
lingkungan mereka sendiri.
Anak-anak
dalam masyarakat modern cenderung berada dibawah tekanan yang besar dari orang
tua dan guru-gurunya untuk menguasai pelajaran yang ditentukan dan dalam waktu
yang telah ditentukan. Gejala ini akan berpotensi menimbulkan gejala kelainan
mental jika hasil yang akan dicapai terlalau berat dibandingkan dengan
kemampuan anak.
F. PENUTUP
Satu
perbedaan yang sangat mendasar antara pendidikan dalam masyarakat sederhana
dengan masyarakat modern adalah pergeseran dari kebutuhan individu untuk
mempelajari sesuatu yang disetujui oleh setiap orang untuk kelangsungan
hidupnya baik masa sekarang maupun masa akan datang.
Semakin
besar pengetahuan dan kompleks keterampilan yang akan dipelajari maka semakin
lama waktu diperlukan untuk kelangsungan kehidupan bermasyarakat.
Tugas
pendidikan dalam masyarakat adalah membangkitkan rasa ingin tahu intelektual,
yaitu perhatian terhadap pengetahuan yang terpisah dari aplikasi praktisnya.
Hal ini sangatlah tidah mudah, karena diperlukan sikap, disiplin dan
intelektual yang tidak bersifat pragmatis, instant dan serba cepat.
Dengan
adanya perbandingan pendidikan dalam masyarakat ini dieperolah perbandingan
yang lebih seimbang kritis mengenai sisstem pendidikan kita. Jelas, bahwa dalam
pendidikan tidak bias memindahkan praktek-praktek yang komplek kedalam
kebudayaan yang lebih komplek dan besar dan mengharapkan akan hasil. Sebaliknya
sukses masyarakat sederhana dalam mengurus aspek-aspek tertentu dalam mendorong
pendidikannya, akan mendorong kita untuk mengatasi masalah-masalah pendidikan
kita seperti masalah mengintegrasikan anak-anak kedalam komunitas kedalam
lingkungannya dan membangkitkan minat, motivasi serta perhatian siswa selama
masa pendidikan merupakan permasalahan-permasalahan yang perlu dicarai
solusinya dengan prespektif dan optimisme yang lebih besar.
Pendidikan
dalam Dinamika Globalisasi
Oleh:
Anita Lie, Forum Diskusi Media Group, anggota Komunitas Indonesia untuk
Demokrasi,
Surabaya.
SEBAGAI
suatu entitas yang terkait dalam budaya dan peradaban manusia,
pendidikan
di berbagai belahan dunia mengalami perubahan sangat mendasar dalam
era
globalisasi. Seperti kata Charles Dickens, its the best of times and the
worst
of times. Ada banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa
dinikmati
umat manusia. Namun sebaliknya, kemajuan tersebut juga beriringan
dengan
kesengsaraan banyak anak manusia, apalagi dalam era globalisasi sekarang
ini.
Salah
satu gejala delokalisasi dalam pendidikan adalah penggunaan bahasa. Di
Indonesia,
bahasa Inggris secara resmi diajarkan dalam kurikulum mulai dari
kelas
satu sekolah lanjutan tingkat pertama. Penggunaan bahasa Inggris sebagai
bahasa
pengantar juga berkaitan erat dengan adopsi kurikulum asing di Indonesia.
Jumlah
anak Indonesia yang mengikuti program kurikulum dan evaluasi asing
memang
masih teramat sedikit. Mereka bisa disebut sebagai the privileged few
yang
mengejar keunggulan dalam era globalisasi dan persaingan bebas.
Pendidikan
sudah menjadi komoditas yang makin menarik. Suatu fenomena menarik
dalam
hal pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala industrialisasi sekolah.
Bahkan
beberapa sekolah mahal didirikan dan dikaitkan dengan pengembangan suatu
kompleks
perumahan elite. Sekolah-sekolah nasional plus di kota-kota besar di
Indonesia
dimiliki oleh pebisnis tingkat nasional dan didirikan dengan
mengandalkan
jaringan multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf pengajar
asing.
Otonomi
pendidikan tinggi membawa implikasi hak dan kewajiban perguruan tinggi
negeri
dan swasta untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari
sumber-sumber
pendapatan untuk menghidupi diri. Konsekuensi logis dari otonomi
kampus,
saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau
menjalankan
strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana.
Perdebatan
antara anti-otonomi dan pro-otonomi perguruan tinggi tidak akan
berkesudahan
dan mencapai titik temu.
Gejala
McDonaldisasi pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai bagian
dari
gerakan neoliberalisme yang menjelma dalam kebijakan pasar bebas dan
mendorong
pemerintah untuk melakukan privatisasi berbagai aset pemerintah.
Sementara
itu, kebijakan privatisasi pendidikan tinggi ini tampaknya akan terus
dijalankan.
Dua alasan yang sering dikemukakan adalah ketidakmampuan pemerintah
membiayai
pendidikan tinggi dan kebutuhan untuk meningkatkan daya saing
perguruan
tinggi negeri.
Namun,
tanpa perhitungan kuota yang tepat dan sistem penunjang aksesibilitas,
elitisme
dalam pendidikan tinggi akan mengancam proses demokratisasi di
Indonesia.
Pendidikan yang diharapkan menjadi jembatan bagi pemerolehan akses
ekonomi,
politik, hukum, dan budaya secara lebih merata menjadi roboh.
***
Berkurangnya
tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah
pada
gejala privatisasi pendidikan. Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi
kabur
dan persaingan antarsekolah akan makin seru. Akibat langsung dari
privatisasi
pendidikan adalah segregasi siswa berdasarkan status sosio-ekonomi.
Atau,
kalaupun fenomena itu sudah terjadi di beberapa kota, pemisahan antara
siswa
dari keluarga miskin dan kaya akan makin jelas dan kukuh.
Siswa-siswa
dari keluarga miskin tidak akan mampu menanggung biaya yang makin
mencekik
sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di
sekolah-sekolah
yang minimalis (baca: miskin) Sementara itu, siswa-siswa dari
kelas
menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana dan prasarana yang
memadai.
Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini mendapatkan iuran pendidikan
yang
memadai dari siswa, sekolah-sekolah ini juga akan mempunyai lebih banyak
keleluasaan
untuk makin membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan. Jadi,
sekolah
yang sudah baik akan menjadi (atau mempunyai kesempatan) untuk menjadi
lebih
baik. Sebaliknya, sekolah yang miskin akan makin terperosok dalam
kebangkrutan.
Menghentikan
laju para privileged few dalam mengejar keunggulan melalui
regulasi
dari birokrasi bukan solusi yang tepat dan bijak. Jarum jam sudah
tidak
bisa diputar kembali dan arus globalisasi sudah tidak terbendung. Dua
poin
'keunggulan dan pemerataan pendidikan' harus diupayakan secara serius dan
sistematis
sampai kesenjangan dalam dunia pendidikan bisa makin diminimalkan
dan
pendidikan bisa menjadi jembatan bagi proses demokratisasi bangsa dan
kebangkitan
nasionalisme baru di Indonesia.
Dalam
dinamika globalisasi, anak-anak bangsa tercecer dalam berbagai sekolah
yang
beragam menurut latar belakang sosioekonomi yang berbeda. Negara belum
mampu
memberikan kesempatan yang adil bagi semua anak bangsa untuk mendapatkan
pendidikan
yang bermutu. Sampai saat ini, belum tampak adanya pembenahan yang
signifikan
dan terpadu untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, dari
tingkat
pendidikan dasar sampai dengan tingkat pendidikan tinggi. Muncul
pertanyaan
besar: Ke mana arah pendidikan di Indonesia?
Pendidikan
dimaksudkan sebagai mempersiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi
masa
depan dan menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain
di
dunia. Masa depan yang selalu berkembang menuntut pendidikan untuk selalu
menyesuaikan
diri dan menjadi lokomotif dari proses demokratisasi dan
pembangunan
bangsa. Pendidikan membentuk masa depan bangsa. Akan tetapi,
pendidikan
yang masih menjadi budak sistem politik masa kini telah kehilangan
jiwa
dan kekuatan untuk memastikan reformasi bangsa sudah berjalan sesuai
dengan
tujuan dan berada pada rel yang tepat.
Dalam
konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu membiasakan anak-anak
untuk
memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi bangsa-bangsa
lain
dan segala persoalan dunia. Pendidikan nasional perlu mempertimbangkan
bukan
hanya {state building] dan {nation building] melainkan juga {capacity
building.]
Birokrasi pendidikan di tingkat nasional perlu fokus pada kebijakan
yang
strategis dan visioner serta tidak terjebak untuk melakukan tindakan
instrumental
dan teknis seperti UAN/UNAS. Dengan kebijakan otonomi daerah,
setiap
kabupaten perlu difasilitasi untuk mengembangkan pendidikan berbasis
masyarakat
namun bermutu tinggi. Pendidikan berbasis masyarakat ini diharapkan
bisa
menjadi lahan persemaian bagi anak-anak dari berbagai latar belakang untuk
mengenali
berbagai persoalan dan sumber daya dalam masyarakat serta terus
mencari
upaya-upaya untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik.
Pendidikan Masa Kolonial
Pada
masa ini, wajah pendidikan Indonesia lebih terlihat sebagai sosok yang
memperjuangkan hak pendidikan. Hal ini dikarenakan pada saat itu, sistem
pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial adalah sistem pendidikan
yang bersifat diskriminatif. Artinya hanya orang Belanda dan keturunannya saja
yang boleh bersekolah, adapun pribumi yang dapat bersekolah merupakan pribumi
yang berasal dari golongan priyayi. Adapun prakteknya sistem pendidikan pada
masa kolonial lebih mengadopsi pendidikan ala Eropa.
Namun
kemudian mulai timbul kesadaran dalam perjuangan untuk menyediakan pendidikan
untuk semua kalangan, termasuk pribumi. Maka hadirlah berbagai institusi
pendidikan yang lebih memihak rakyat, seperti misalnya Taman Siswa dan
Muhammadiyah.
Pada
masa ini sistem Eropa dan tradisional (pesantren) sama-sama berkembang. Bahkan
bisa dikatakan, sistem ini mengadopsi sistem pendidikan seperti yang kita kenal
sekarang: Mengandalkan sistem pendidikan pada institusi formal macam sekolah
dan pesantren
Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda
yang menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan
ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia
(Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua
kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk
anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas
yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga
kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa. Sarana pendidikan dibuat
dengan biaya yang rendah dengan
pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai masalah peperangan.
Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada
tahun 1825 sampai 1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang
Belanda dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya yang mahal dan menelan banyak
korban. Belanda membuat siasat agar pengeluaran untuk peperangan dapat ditutupi
dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap cara yang paling ampuh untuk
memperoleh keuntungan yang maksimal yang dikenal dengan cultuurstelsel atau
tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara yang
praktis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi
bagian yang dirugikan karena digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat
miskin yang sebagian bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk menambah
kas negara penguasa.
Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja
murah, pemerintah mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh
masyarakat untuk mempermudah komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu,
bahasa Belanda menjadi syarat Klein Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah
pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7). Syarat tersebut harus dipenuhi
para calon pegawai yang akan digaji murah. Pegawai sedapat mungkin dipilih dari
anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional dan
berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12). Jadi,
anak dari kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih
efektif, karena masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu keadaan
yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari lapisan-lapisan sosial yaitu
golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri terdapat
golongan bangsawan dan orang kebanyakan.
Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas
pendidikan anak Indonesia melalui politik etis. Politik etis dijalankan
berdasarkan faktor ekonomi di dalam maupun di luar Indonesia, seperti
kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara modern yang mampu menaklukkan
Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis terutama
sebagai alat perusahaan raksasa yang bermotif ekonomis agar upah kerja serendah
mungkin untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan
pendidikan yang dicanangkan sebagai kedok untuk siasat meraup keuntungan.
Irigasi dibuat agar panen padi tidak terancam gagal dan memperoleh hasil yang
lebih memuaskan. Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga kerja, salah
satunya untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan
rakyat.
Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena
krisis dunia, tidak terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut mangalami
malaise (Mestoko dkk, 1985 :123). Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan
lembaga pendidikan. Lalu, lembaga pendidikan dibuat dengan biaya yang lebih
murah. Kebijakan yang dibuat termasuk penyediaan tenaga pengajar yang terdiri
dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang tidak mempunyai latar belakang
pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dianggap
layak menjadi guru. Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit
mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban
yang berat. Jadi, pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan.
Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang kebanyakan menjadi target yang
empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah.
Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu.
Pertama, gradualisme yang luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak
Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama
sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu diperhatikan. Kedua,
dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum
tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibuat terpisah, pendidikan anak
Indonesia berada pada tingkat bawah. Ketiga, kontrol yang sangat kuat.
Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang
menjalankan pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara
sentral, guru dan orang tua tidak mempunyai pengeruh langsung politik
pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna untuk merekrut pegawai. Pendidikan
bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan sebagai tenaga
kerja yang murah. Kelima, prinsip konkordasi yang menjaga agar sekolah di
Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di
negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah di pendidikan Belanda.
Keenam, tidak adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan dengan ciri-cri
tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang mampu. Pemerintah Belanda
lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan pengetahuan
anak-anak Indonesia.
Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai
siasat untuk mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun
1907. Tipe sekolah desa yang dianggap paling cocok oleh Gubernur Jendral Van
Heutz sebagai sekolah murah dan tidak mengasingkan dari kehidupan agraris
(Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas
dua, pemerintah takut penduduk tidak bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan
tetap menjadi tenaga kerja demi pengamankan hasil panen.
Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren
diubah menjadi madrasah yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren
dibumbui dengan pengetahuan umum. Cara tersebut dianggap efektif, sehingga
pemerintah tidak usah membangun sekolah dan mengeluarkan biaya (Nasution,
1987:80). Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua, dianggap sanggup
menjadi guru sekolah desa. Guru yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan
tidak bersedia untuk mengajar di lingkungan desa.
Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan
catatan sejarah yang kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk
meraup keuntungan melalui tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan biaya
yang murah, agar tidak membebani kas pemerintah. Politik etis menjadi tidak
etis dalam pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yang sangat mendesak dan
berbagai masalah lain menjadi kenyataan yang tercatat dalam sejarah pendidikan
masa Belanda.
Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide
kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin
menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan
kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138).
Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan
Jepang untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki
landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk
mencapai kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik,
latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.
Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan
kalau pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan
dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah.
Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata
ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melalui
berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yang akan
dikembangkan untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka.
Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu
menyangkut penyesuaian bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada
kementrian pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan supaya cepat untuk
menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran sesuai
dengan rencana pokok usaha pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah
mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah
dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah
dan guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui
kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan
ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161). Program tersebut menunjukkan jumlah orang
yang buta huruf seluruh Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta
huruf pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud adalah buta huruf latin
(Mestoko dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan
yang diprogramkan oleh pemerintah untuk menanggulangi angka buta aksara di
Indonesia dan buta pengetahuan dasar, tetapi pendidikan kurang lebih tidak
berdampak pada rumah tangga kurang mampu.
Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu
terutama dari sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah
halus gampang muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan akibat yang
hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong
royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong karena
merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional)
untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas
(Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah untuk
meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan
bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman
penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan
penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak
penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal. Muller
(1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan di Indonesia bahwa
sebagaian besar masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan, paling-paling
hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir tidak bisa
beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.
Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit
dicapai oleh orang-orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan
diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga
kerja yang diandalkan untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Setelah jaman
kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang mampu terus menjadi sumber
pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai
alat penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung
peningkatan pemasukan pemerintah.
BAB II
PEMBAHASAN
1.Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama
(1945-1965)
Revolusi nasional meletus pada tanggal 17 Agustus 1945 dalam
bentukproklamasi kemerdekaan. Dengan ini tercapailah kemerdekaan yang
diidam-idamkanoleh rakyat Indonesia. Proklamasi mematahkan belenggu penjajahan
dan menciptakanhidup baru di berbagai bidang, terutama di bidang pendidikan
dirasakan perlumengubah sistem pendidikan yang sesuai dengan suasana baru. Pada
bulan Oktober1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perangjihad
fisabilillah terhadapBelanda / sekutu. Hal ini berarti memberikan
fatwa kepastian hukum terhadap
b.Kurang berkualitasnya guru, yang dimaksud disini adalah kurang
kesadaranprofessional, kurang inofatif, kurang berperan dalam
pengembanganpendidikan, kurang terpantau.
c.Belum adanya
sentralisasi dan disentralisasi.
d.Dualisme pengelolaan
pendidikan yaitu antara Depag dan Depdikbud.
e.Sisa-sisa pendidikan
penjajahan yang masih ditiru seperti penjurusan dan
pemberian gelar.
f.Kendali yang terlalu ketat pada pendidikan tinggi.
g.Minimnya persamaan hak dengan pendidikan umum
h.Minimnya peminat sekolah agama karena dipandang prospeknya tidak jelas.
f.Kendali yang terlalu ketat pada pendidikan tinggi.
g.Minimnya persamaan hak dengan pendidikan umum
h.Minimnya peminat sekolah agama karena dipandang prospeknya tidak jelas.
Beberapa strategi yang
perlu dicanangkan untuk memprediksi pendidikan Islam
masa depan adalah
sebagai berikut.
1.Strategi sosial politik
Menekankandiperlukannya
merinci butir-butir pokok formalisasi ajaran Islamdi lembaga-lembaga negara
melalui upaya legal formalitas yang terus menerusoleh gerakan Islam terutama
melalui sebuah partai secara eklusif khusus bagiumat Islam termasuk kontrol terhadap
aparatur pemerintah. Umat Islam sendiriharus mendidik dengan moralitas Islam
yang benar dan menjalankan kehidupanislami baik secara individu maupun
masyarakat.
2. Strategi Kultural
Dirancang untuk
kematangan kepribadian kaum muslimin dengan memperluascakrawala pemikiran,
cakupan komitmen dan kesadaran mereka tentangkompleksnya lingkungan manusia.
3.Strategi Sosio
cultural
Diperlukan upaya untuk
mengembangkan kerangka kemasyarakatan yang
menggunakan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip Islam.
5. Tujuan Pendidikan
Agama Islam Berdasarkan Jenjang Pendidikan
a.Tujuan untuk jenjang
pendidikan MI /SD dan MTS / SLTP meliputi;
1.Tumbuhnya keimanan dan ketaqwaan dengan mulai belajar
Al-Qur’andan praktek-praktek ibadah secara verbalistik dalam rangkapembiasaan
dan upaya penerapannya.
2. Tumbuhnya sikap
beretika melalui keteladanan dan penanaman
motifasi.
i
3.Tumbuhnya penalaran
(mau belajar, ingin tahu senang membaca,
memiliki inofasi, dan
berinisiatif dan bertanggung jawab).
4.Tumbuhnya kemampun berkomunikasi sosial.
5.Tumbuh kesadaran untuk menjaga kesehatan.
4.Tumbuhnya kemampun berkomunikasi sosial.
5.Tumbuh kesadaran untuk menjaga kesehatan.
b.Tujuan pendidikan pada
jenjang MA/SLTA meliputi:
1.Tumbuhnya keimanaan dan ketaqwaan denganmemiliki kemampuanbaca
tulis Al-qur’andan praktek-praktek ibadah dengan kesadaran dankeikhasan
sendiri.
2. Memiliki etika.
3.Memiliki penalaran
yang baik.
4.Memilikikemampuan berkomunikasi sosial.
5.Dapat mengurus dirinya sendiri.
4.Memilikikemampuan berkomunikasi sosial.
5.Dapat mengurus dirinya sendiri.
c.Tujuan Pendidikan Tingkat Tinggi didalam penguasaan ilmu
pendidikan dankehidupan praktek ibadahnya bukan hanya untuk dirinya sendiri
tetapi telahmemiliki kemampuan untuk menyebarkan kepada masyarakat dan
menjaditeladan bagi mereka.
i
BAB III
KESIMPULAN
Bangsa Indonesia merdeka setelah proklamasi pada tanggal 17
Agustus 1945.Kemerdekaan ialah terbebasnya suatu bangsa dari belenggu
penjajahan. Bangsa yangsudah merdeka dapat leluasa mengatur laju bangsa dan
pemerintahan untuk mencapaitujuannya. Kemerdekaan tidak sepenuhnya
menyelesaikanberbagai persoalan negara.Kemerdekaan politik sesudah masa
penjajahan oleh pemerintah Jepang dan Belandaitu lebih mudah dicapai
dibandingkan dengan rekonstruksi kultural masyarakatdanrenovasisystem
pendidikan kita,khususnya pendidikan Islam.
Pendidikan Islam pada
masa Kemerdekaan ini dapat kita bagi menjadi
beberapa periode:
1.Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama
2.Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
3.Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi
4.Pendidikan IslamMasa depan
1.Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama
2.Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
3.Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi
4.Pendidikan IslamMasa depan
Harus disadari bahwa lembaga pendidikan Islam adalah lembaga
pendidikanmemiliki potensiyang sangat besar bagi jalannya pembagunan di negeri
ini terlepasdari berbagai anggapan tentang pendidikan yang ada sekarang, harus
diingat bahwapendidikan Islam di Indonesia telah banyak melahirkan putera
puteri bangsa yang berkualitas.
Pendidikan Agama sangat
diperlukan sekali, oleh karena itu upaya untukmemajukan dan mengembangkannya
menjadi suatuhal yang wajib. Mengingatpendidikan agama merupakan jalan menuju
pembentukan pribadi yang beriman danbertakwaserta berkualitas ilmu
pengetahuannya.
Posted on May 20, 2007 by epsdin
Kebangkitan nasioal
memang tidak dapat dilepaskan dari aspek pendidikan.Pendidikan merupakan tonggak
perjuangan bangsa menuju kemajuan peradaban. Tanpa pendidikan yang baik, tata
aturan dan etika kehidupan akan kacau, krisis moral akan merebak, hingga
menimbulkan gangguan sistem ekonomi yang mengarah pada kelumpuhan stabilitas
negara. Indonesia, sebagai negara berkembang sangatlah urgen untuk memberi
perhatian lebih pada bidang pendidikan yang sekarang jauh tertinggal dari
negara-negara lain. Dengan meningkatkan bidang pendidikanlah, perkembangan pada
bidang kehidupan yang lainnya akan tecapai hingga akselerasi kebangkitan
nasional berjalan lebih cepat.
Sejarah Kebangkitan Nasional
Sembilan puluh sembilan tahun yang
lampau, tepatnya pada tanggal 20 Mei 1908, berdirilah sebuah organisasi
penggerak kebangkitan bangsa, Boedi Oetomo. Hari tersebut kemudian dikenang
sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kala itu bangkitlahsuatu kesadaran tentang
kesatuan kebangsaan untuk menentang kekuasaan penjajahan Belanda yang telah
berabad-abad lamanya berlangsung di tanah air. Boedi Oetomo saat itu, merupakan
perkumpulan kaum muda yang berpendidikan dan peduli terhadap nasib bangsa, yang
antara lain diprakarsai oleh Dr.Soetomo, Dr.Wahidin Soedirohoesodo, Dr.Goenawan
dan Suryadi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Pahit getirnya perjuangan bangsa Indonesia jauh sebelum 1908
mencatat begitu banyak kenangan berharga dan begitu banyak kenangan yang
mengharukan. Awal kebangkitan Nasional bukanlah terjadi dengan sendirinya
tetapi berawal dari rasa keprihatinan terhadap kebodohan, kemiskinan dan
keterbelakangan. Saat itu Belanda menelantarkan pendidikan Bangsa Indonesia,
rakyat dibiarkan bodoh, melarat dan menderita.
Kondisi tersebut ternyata tidaklah lama. Orang-orang berpendidikan
mulai unjuk amal. Mereka mulai bergerak menyuarakan hak-hak bangsa. Jumlah
mereka pun semakin bertambah. Banyaknya orang pintar dan terpelajar di
Indonesia kala itu merupakan salah satu factor munculnya kebangkitan nasioanl.
Orang-orang terpelajarlah yang berperan sebagai pionir bagi masyarakat lainnya
untuk sadar dan bersatu menuju kesatuan bangsa demi menghapuskan penjajahan
Belanda. Saat itu orang-orang
terpelajar mendirikan organisasi di setiap daerah. Jong Ambon (1909), Jong Java
dan Jong Celebes (1917), Jong Sumatera dan Jong Minahasa (1918). Pada tahun
1911 juga berdiri organisasi Sarikat Islam, 1912 Muhammadiyah, 1926 Nahdlatul
Ulama, dan kemudian pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia. Perjuangan
yang panjang itu, akhirnya mencapai puncaknya pada kemerdekaan bangsa, yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Gerakan Reformasi 1998 yang menumbangkan kekuasaan yang
sentralistik, merupakan gerakan moral sebagai lanjutan kebangkitan bangsa.
Kebangkitan dari kebobrokan mental yang ada dalam pemerintahan RI. Kebangkitan
dari kepincangan hukum yang tidak adil menuju tuntutan rakyat demi menciptakan
pemerintahan yang bersih dari korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Memang zaman telah berubah, dulu , kini dan esok sangat berbeda,
tetapi semangat dan perjuangan kemanusiaan dan kebangsaan yang terkandung dalam
Hari Kebangkitan Nasional tidak terikat oleh ruang dan waktu. Indonesia
sekarang ini sesungguhnya merupakan hasil dari suatu perjuangan bangsa yang
amat panjang dan meminta korban yang amat besar, baik ketika berjuang untuk
mewujudkannya, maupun ketika untuk mempertahankannya. Oleh karena itu, pendidikan yang merupakan inti dari
kebangkitan nasional perlu kita tingkatkan saat ini demi tercapainya
kebangkitan nasional kedua menuju kemajuan global.
Wajah Pendidikan Indonesia Terkini
Saat ini, indonesia
sedang dilanda krisis multidimensi. Beberapa diantaranya adalah krisis ekonomi
yang membuat kemiskinan meraja lela dan krisis akhlak yang menimbulkan
kriminalitas. Permasalahan ini diakibatkan oleh lemahnya sistem pendidikan baik
dari segi dana, fasilitas, maupun materi. Bila masalah ini tidak dikaji dan
dibenahi secara serius, kemajuan negara yang didambakan akan lambat tercapai.
Pendidikan di negara
ini perlu dibenahi lagi secara terprogram. Banyak permasalahan yang melanda
apspek pendidikan di tanah air ini. Permasalahan itu dianatarnya menyangkut
aspek ekonomi (anggaran), kurrikulum (materi dan system), dan atensi pada guru.
Anggaran dana
pendidikan kita masih kurang. Pendidikan yang layak hanya mampu membina
generasi-generasi tunas bangsa yang berasal dari golongan menengah ke atas.
Sementara mereka yang berasal dari strata bawah kurang mendapat perhatian
pendidikan yang layak dan terprogram secara terstruktur.Dalam UU Nomor 18 tahun 2006 tentang APBN tahun
anggaran 2007 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp
90,10 triliun. Jumlah itu hanya 11,8 persen dari total APBN 2007 yang besarnya
mencapai Rp 763,6 triliun. Hal ini bertentangan dengan Pasal 31 ayat 4 UUD RI
1945 yang menyatakan negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. (data 18 Januari
2007). Jika anggaran pendidikan seperti ini, mana mungkin masyarakat yang
berpendidikan akan tercipta? Mana mungkin proses kebangkitan bangsa akan
berkembang pesat?
Kurrikulum pendidikan
sekolah formal lebih banyak menekankan aspek teoritis generalis daripada
aplikasi dan spesialisasi. Pendalaman terhadap ilmu pun hanya berkisar pada
tataran idealis berdasarkan teori bukan kepada masalah realistis,
sehingga pengembangan kreativitas dan keahlian bidang IPTEK berjalan
kurang baik. Hal inilah menyebabkan bangsa ini kurang produktif dalam
menghasilkan produk-produk teknologi.
Pembinaan akhlak yang
berlandaskan pada agama pun masih kurang.Pelajaran agama terkadang hanya
dipandang sebagai penambah wawasan tanpa diwujudkan dalam bentuk moral
dan akhlakul karimah. Ingatlah pepatah, Knowledge is power
but character is more. Ilmu pengetahuan adalah utama, tetapi karakter
(moral) lebih utama. Dan moral akan terbentuk bila seseorang memiliki pemahaman
agama yang komprehensif. Terasa hampa jika pengetahuan kita luas dan IPTEK maju
tapi pribadi kita sempit, egois, dan jauh dari etika moral yang mulia. Adalah
kewajiban kita membentuk karakteristik ilmu padi. Semakin tumbuh tinggi,
semakin merunduk. Semakin tinggi pengetahuan semakin rendah hati dan menjadi
teladan bagi masyarakat baik dalam segi pemikiran maupun tindakan. Inilah yang
kurang terasa pada output pendidikan saat ini.
Permasalahan pendidikan lain yang terjadi pada masyarakat kita
adalah kurangnya atensi dan penghargaan pada guru. Pahalal merekalah tulang
punggung peradaban bangsa yang memberantas kebodohan yang melanda masyarakat.
Adalah wajib bagi seorang guru untuk mendapat reward yang
besar.
Dalam konteks persekolahan guru adalah ujung tombak. Guru
memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin proses pembelajaran bisa
berlangsung. Mungkin itulah yang menjadi landasan pikiran bagi Ho Chi Min
(bapak pendidikan Vietnam) yang mengatakan bahwa, No teacher No
education. No education, no economic and social development. Begitu
tingginya arti seorang guru bagi pembelajaran bangsa ini.
Bercerminlah pada Jepang. Ketika Hirosima dan Nagasaki dibom
oleh tentara sekutu menggunakan bom atom sampai luluh lantah, Sang kaisar
Jepang, Hirohito dengan penuh kekhawatiran langsung bertanya kepada pusat
informasi. Tahukah anda apa yang dia tanyakan? Kaisar Hirohito bukan menanyakan
berapa jumlah tentara, tank, pesawat tempur, kapal perang yang ada atau jumlah
aset negara yang tersisa. Tapi yang ia tanyakan adalahberapa jumlah guru
yang masih hidup? Luar biasa! Begitu fahamnya pemahaman sang pemimpin
akan fungsi guru. Dia tidak khawatir Jepang akan hancur selamanya, karena
guru masih banyak yang hidup. Memang tidaklah aneh, hanya dalam waktu yang
singkat, Jepang sudah kembali seperti semula sebagai negara maju, berkat
memaksimalkan fungsi guru.
Pendidikan indonesia harus segera dibenahi dan mendapat perhatian
yang besar. Karena pendidikan adalah tonggak akselerasi kebangkitan nasional di
era globalisasi ini. Kerja sama, analisa, dan dialog solutif perlu dilaksanakan
oleh pemerintah dengan para pakar pendidikan, guru, scientist,
ulama, dan pengusaha. Dengan usaha itu diharapkan permasalahan pendidikan
(dana, kurrikulum dan sistem serta atensi pada SDM pendidikan) akan terpecahkan
secara terprogram dan terstruktur. Jika hal ini berhasil, tidaklah mustahil
kita, bangsa Indonesia akan mampu menjadi negara maju minimal sejajar dengan
negara-negara barat. (Aep Saepudin)
4 komentar:
SALAM KENAL SEMUA,…!!! SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
Saya Sangat BerTerima kasih Atas Bantuan Angka Ritual AKI…Angka AKI KANJENG Tembus 100%…Saya udah kemana-mana mencari angka yang mantap selalu gak ada hasilnya…sampai- sampai hutang malah menumpuk…tanpa sengaja seorang teman lagi cari nomer jitu di internet…Kok ketemu alamat KI KANJENG..Saya coba beli Paket 2D ternyata Tembus…dan akhirnya saya pun membeli Paket 4D…Bagai di sambar Petir..Ternyata Angka Ritual Ghoib KI KANJENG…Tembus 4D…Baru kali ini saya mendapat angka ritual yang benar-benar Mantap…Bagi saudara yang ingin merubah Nasib anda seperti saya…Anda Bisa CALL/SMS Di Nomer KI KANJENG DI 085-320-279-333.(((Buktikan Aja Sendiri Saudara-Saudari)))
…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…
**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..
…=>AKI KANJENG<=…
>>>085-320-279-333<<<
saya PAK SLEMET posisi sekarang di malaysia
bekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putus asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada seseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan
tulisannya bermanfaat, gan. Hanya saja terlihat acak-acakan dan tidak teratur, sayang banget
nice! postingannya bermanfaat sekali min
Posting Komentar