BLOG DALAM KEADAAN SEDANG DI REPARASI||MOHON MA`AF APABILA MASIH BANYAK KEKURANGAN||TERIMAKASIH TELAH BERKUNJUNG

Rabun

Rabun -
Sosok Misran
“Sembilan,” kata Misran sambil menunjuk angka tiga. Orang-orang kaget. Mereka berdesak maju, ingin jelas melihat angka yang ditunjuk Misran.
“Angka tiga” kata seseorang sambil menunjuk kepapan pengumuman.
“Tiga” kata yang lain mendukung.
“Sembilan!”
“Tiga!”

Tapi karena Misran tetap menyebut angka sembilan, orang-orang marah. Misran ditarik dan ditendang ke kebelakang, jatuh di bawah pohan beringin.

“Jelas angka tiga, dibilang angka sembilan. Dasar mata rabun,” kata orang yang mengerutu sambil melihat papan pengumuman yang di keluarkan oleh pemerintah itu.

Kata pengumuman itu masyarakat harus tahu jumlah uang yang tersisa untuk pembangunan yang akan dilakukan didesa mereka, sebab tanggung jawab pembangunan bukan hanya disandangkan kepada pemerintah saja, masyarakat saja, atau salh satu golongan saja.

Seminggu setelah itu, ketika orang-orang melihat pengumuman baru, Misran menunjuk angka lima sambil bilang “Ini angka sepuluh”

Orang-orang terkejut. Sebagian menggosok matanya biar yakin dengan apa yang dilihatnya. Sebagian lagi mencari-cari siapa orang yang barusan bicara.

“Pantas, Misran yang bicara,” salah seorang setelah ia melihat Misran.
“Si Misran mata rabun!” kata yang lain.

“Mata ikan kali! Masa angka sebesar itu tidak kelihatan” kata orang yang jengkel
Tapi Misran tetap menyebut angka sepuluh sambil menunjuk angka lima. Akhirnya orang-orang tak lagi marah, tapi menertawakanya. Apalagi ketika malamnya mereka nonton tv dikantor balai desa. Misran menunjuk sapi ditv sebagai domba. Sejak itu Misran menjadi teratawaan orang-rang, permainan anak-anak muda yang setiap sore nongkrong dipos ronda, bahan olok-olokan anak-anak yang sedang bermain.

“Misran, ini apa ?” Tanya anak-anak sambil menunjuk gambar dikoran.
“Badak,” jawab Misran mantap. Anak-anak ramai mendengarnya.
“Kalau yang ini ?”
“Gajah,” jawabnya santai. Anak-anak bersorak. Yang sedang bermain kelereng berhenti membidik. Yang sedang mengadu jangkarik berhenti memanasi binatang kecilnya. Orang tua yang sedang jalan ikut berhenti, ikut tertawa dan bersorak.

Suatu hari, orang-orang terkejut ketika sedang mempermainkan Misran. Sebab, mata Misran tidak hanya rabun dengan angka dan hewan saja, tapi juga sudah meningkat ketika melihat manusia. Ketika Pak Hili, seorang pengusaha besar (orang-orang memanggilanya konglomerat) yang sedang membeli tanah dikampung Misran disebutnya ular. Pak Culna, mantan penjabat pemerintah (orang-orang menyebutnya koruptor) yang sedang istirahat divilanya dikampung Misran, disebutnya harimau.

Yang paling mengejutkan ketika da orng kota datang lengkap dengan rombangan pengiringnya meninjau kampong Misran yang akan dijadikan desa percontohan. Misran berbisik kepada orang yang ada didekat denganya ketika sedang melihat orang kota itu. Katanya, “Lihat, kepalanya seperti lintah. Penuh dengan darah dikepalnya.”

Orang-orang yang mendengarnya terkejut. Apalagi ketika Misran kaembali mengilang kata-katany dengan nada yang lebih tinggi. Upacara “meninjau” tiba-tiba rehenti. Orang kota yang tidak lain adalah pak gubernur itu tidak melanjutkan tugasnya. Dia malah marah mendengar perkataan MIsran yang kurang ajar. Panitia melotot pada Misran. Tapi Misran tenang-tenang saja, Tidak ada yang ditakutinya.

Panitia bagian keamanan cepat membawa Misran kebelakang. Misran dibawa ke kantor polisi dan ditahan dengan alasan mengganggu ketertiban. Hari keenam baru ia dikeluarkan. Orang-orang berdesakan ingin melihat Misran.
“Misran, ini siapa ?” tanya seorang polisi sambil menunjuk gambar dimajalah.
“Lintah.” jawab Misran tenang. Orang-orang tak ada yang bicara. Apalagi tertawa. Tertawa artinya subversi (mendukung). Foto yang ada dimajalah adalah salah seorang penkabat yang cukup terkenal
“Kalau ini ?” tanya polisi lagi
“Harimau.”
“Ini ?”
“Bunglon.”
“Ini ?”
“Badak.”

Polisi berhenti bertanya. Misran diantarkan kerumahnya. Keputusan polisi, Misran adalah orang sakit gila, sakit mental, hilang ingatan. Tapi Misran tidak boleh diganggu. Ini adalah aturan baru sebab salah-salah nanya, yang nanya bisa dipenjara.

BAGI saya Misran adalah guru. Sejak kecil saya sering mengikuti kemana Misran pergi. Baca Qur-annya bagus. Pengetahuaanya dibidang sosial, politik dan kebudayaan cukup luas. pembicaraanya selalu berisi. Nilai filsafat yang cukup tinggi. Banyak pengetahauan diajarkan kepada saya, dari mulai mengaji kitab samapai mengaji diri.

Sebenarnya saya tidak terkejut dengan yang dikatakan Misran. Bisa jadi ia adalah yang benar dan orang-orang yang salah. Sering mata fisik saya sakit diobati Misran. Sering yang belum dilihat mataku, olah mata Misran telah diketahui. Maka ketika orang-orang menyebutnya tidak waras, sakit mental, hilang ingatan, saya tak percaya. Misran orang sehat, waras. WARAS. Ketika orang-orang tertawa mendengar jawaban Misran saat ditanya, saya tidak. Ketika orang-orang menjauhi Misran sebab takut disebut subversi , saya tidak. Misran tetap guru saya yang selalu saya dengarkan dan saya renungkan apa yang dikatakanya.

Suatau waktu, ketika sedang istirahat sehabis mencangkul kebun, saya bertanya kepada Misran.

“Apa benar yang terlihat olehmu adalah lintah, ular, harimau, badak, dan bukan manusia ?”
“Aku hanya jujur.”
“Tapi kejujuranmu membawa petaka.”
“Memang seperti itu. Kejujuran baik, tapi seringsekali menykitkan.”

Sejak itu saya selalu bertanya-tanya, apa saya sudah jujur ? Maka ketika orang-orang berjalan cepat dan tanpa menghiraukan sekelilingnya, saya heran. Dan lambat laun, saya juga melihat apa yang dilihat Misran. Banyak orang yang berkepala binatang, apalagi kelakuaanya. Tapi saya tidak yakin, apakah ini kejujuran atau sakit. Ketika orang-orang saya Tanya dan saya sebutkan orang-orang menggidik dan berjalan lagi cepat-cepat.

“Aku pun sebenarnya melihat itu. Tapi kamu harus hati-hati, kamu bisa diasingkan seperti Misran.” kata seseorang entah siapa, dan pergi lagi cepat-cepat.
Saya sendiri binggung meski berbuat apa sekarang. Tapi tiba-tiba saya teringat pada seseorang teman, Akhi Abdulah, yang pernah bilang saya musti cepat-cepat cari cermin bila keadaan seperti itu. “ Siapa tahu wajah kita pun sudah berubah aslinya,” katanya.
Saya pun mencari-cari cermin. Sulit. Sulit sekali. Bahkan, ditempat-tempat umum cermin sudah pecah-pecah. Wajahpun mendua. Bahkan lebih.

Artikel Terkait:

0 komentar: