BLOG DALAM KEADAAN SEDANG DI REPARASI||MOHON MA`AF APABILA MASIH BANYAK KEKURANGAN||TERIMAKASIH TELAH BERKUNJUNG

PANDANGAN ISLAM DALAM BERPOLITIK

PANDANGAN ISLAM DALAM BERPOLITIK - SIAPA YANG BERHAK BERPOLITIK ? DAN KAPAN ?

Oleh :
Al-'Allamah Al-Muhaddits Al-Faqih Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullaahu ta'ala.

Menyibukkan diri dengan politik pada saat ini adalah membuang-buang waktu ! Meskipun kami tidak mengingkari adanya politik dalam Islam (siyasah asy-syar'iyyah), hanya saja dalam waktu yang sama kami meyakini adanya tahapan-tahapan syar'i yang logis yang harus dilalui satu per satu.

Kami memulai dengan 'aqidah, yang kedua ibadah, kemudian akhlak, dengan mengadakan pemurnian (tashfiyah) dan pendidikan (tarbiyah), kemudian akan datang suatu hari dimana kita pasti masuk dalam fase politik secara syar'i, karena berpolitik berarti mengatur urusan-urusan ummat. Dan yang mengatur urusan-urusan ummat? Bukanlah Zaid bin Tsabit, Abu Bakar ash-Shiddiq, ataupun 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhum, yang mendirikan kelompok atau memimpin gerakan atau suatu jama'ah!! Bahkan urusan ini khusus bagi ulil amri yang dibaiat di hadapan kaum muslimin. Dia (ulil amri) lah yang diwajibkan mengetahui politik dan mengaturnya. Apabila kaum muslimin tidak bersatu -seperti keadaan kita saat ini- maka setiap ulil amri hanya berkuasa dan memikirkan sebatas wilayah kekuasaannya saja.

Adapun menyibukkan diri dalam urusan-urusan (politik) maka seandainya pun kita benar-benar mengetahui urusan-urusan tersebut, pengetahuan kita itu tidak memberi manfaat kepada kita, karena kita tidak memiliki keputusan dan wewenang untuk mengatur ummat. Satu hal ini pun sudah cukup menjadikan usaha kita sia-sia.

Kami akan memberikan suatu contoh : Peperangan yang terjadi melawan kaum muslimin pada kebanyakan negeri-negeri Islam. Apakah bermanfaat jika kita menyulut semangat kaum muslimin untuk menghadapi orang kafir padahal kita tidak memiliki "jihad wajib" yang diatur oleh imam yang bertanggung jawab yang telah dibaiat?! Tidak ada gunanya perbuatan tersebut. Kami tidak berkata bahwa menolong orang-orang yang tertindas itu tidak wajib, akan tetapi kami mengatakan bahwa menyibukkan diri dengan politik bukan sekarang waktunya. Oleh karena itu, wajib atas kita untuk mengajak kaum muslimin kepada da'wah, untuk memahamkan mereka kepada Islam yang benar (tashfiyah) dan mendidik mereka dengan tarbiyah yang benar.

Adapun menyibukkan mereka dengan urusan-urusan emosional yang menyentil semangat, maka hal itu termasuk dalam hal-hal yang dapat memalingkan mereka dari kemantapan dalam memahami da'wah yang wajib ditegakkan oleh setiap muslim mukallaf, seperti memperbaiki 'aqidah, ibadah, dan akhlak. Dan hal itu termasuk fardhu 'ain yang tidak bisa dimaklumi orang yang melalaikannya. Sedangkan urusan-urusan lain yang dinamakan pada saat ini dengan "fiqhul waqi" dan sibuk dengan urusan politik yang merupakan tanggung jawab ahlul halli wal aqdi, yang dengan kekuasaan mereka, mereka bisa mengambil manfaat dari hal yang demikian secara praktek. Adapun sebagian orang yang tidak memiliki kekuasaan, maka mengetahui politik dan menyibukkan mayoritas manusia dengan sesuatu yang penting daripada sesuatu yang lebih penting adalah termasuk sebagai hal-hal yang memalingkan mereka dari pengetahuan yang benar!.

Dan inilah yang kami rasakan sesungguhnya pada kebanyakan dari manhaj kelompok-kelompok dan jama'ah-jama'ah Islam pada saat ini. Dimana kami mengetahui bahwa sebagian mereka berpaling dari mengajari pemuda-pemuda muslim yang berkumpul disekitar da'i itu untuk belajar memahami 'aqidah, ibadah dan akhlak yang benar. Karena sebagian para da'i itu sibuk dengan urusan politik dan masuk ke parlemen-parlemen yang berhukum dengan selain apa-apa yang Allaah turunkan!! Sehingga hal itu memalingkan mereka dari hal yang lebih penting dan mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak penting dalam kondisi seperti sekarang ini.

Adapun tentang apa-apa yang termuat dalam pertanyaan yaitu tentang bagaimana seorang muslim berlepas diri dari dosa (tanggung jawab) atau bagaimana seorang muslim berperan serta dalam mengubah kenyataan yang pahit ini, maka kami katakan : Setiap muslim berkewajiban berbuat sesuai dengan kemampuannya masing-masing, seorang 'ulamaa mempunyai kewajiban yang berbeda dengan yang bukan 'ulamaa. Dan sebagaimana yang saya sebutkan dalam kesempatan seperti ini bahwa sesungguhnya Allaah 'Azza wa Jalla telah menyempurnakan nikmat-Nya dengan kitab-Nya, dan dia menjadikan Al-Qur-an sebagai undang-undang bagi kaum mukminin. Sebagaimana firman Allaah Subhanahu wa Ta'ala.

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya :
"Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahuinya."
(QS. Al-Anbiya [21] : 7)

Allaah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan masyarakat Islam menjadi dua bagian yaitu orang yang berilmu dan yang bukan berilmu (awam). Dan Allaah mewajibkan kepada masing-masing di antara keduanya apa-apa yang tidak Allaah wajibkan kepada yang lainnya. Maka kewajiban atas orang-orang yang bukan 'ulamaa adalah hendaknya mereka bertanya kepada ahli 'ilmu. Dan kewajiban atas para 'ulamaa adalah hendaknya menjawab apa-apa yang ditanyakan kepada mereka. Maka kewajiban-kewajiban berdasarkan pijakan ini adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan individu itu sendiri. Seorang yang berilmu pada saat ini kewajibannya adalah berda'wah mengajak kepada da'wah yang hak sesuai dengan batas kemampuannya. Dan orang yang bukan berilmu kewajibannya adalah bertanya tentang apa-apa yang penting bagi dirinya atau bagi orang-orang yang berada dibawah kepemimpinannya seperti istri, anak atau semisalnya. Sehingga apabila seorang muslim dari masing-masing bagian ini menegakkan kewajibannya sesuai dengan kemampuannya, maka dia telah selamat, karena Allaah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Artinya :
"Allaah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
(QS. Al-Baqarah [2] : 286)

Kami -dengan sangat prihatin- hidup ditengah-tengah penderitaan dan kejadian-kejadian tragis yang menimpa kaum muslimin yang tidak ada bandingannya dalam sejarah, yaitu berkumpul dan bersatunya orang-orang kafir memusuhi kaum muslimin, sebagaimana yang dikhabarkan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam seperti dalam hadits beliau yang dikenal dan shahiih.

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Telah berkumpul ummat-ummat untuk menghadapi kalian, sebagaimana orang-orang yang makan berkumpul menghadapi piringnya.'
Para Shahabat berkata,
'Apakah pada saat itu (jumlah) kami sedikit wahai Rasulullah?'
Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab,
'Tidak, pada saat itu kalian banyak, tetapi kalian seperti buih di lautan, dan Allaah akan menghilangkan rasa takut dari dada-dada musuh kalian kepada kalian, dan Allaah akan menimpakan pada hati kalian penyakit Al-Wahn.'
Para Shahabat bertanya,
'Apakah penyakit Al-Wahn itu wahai Rasulullah?'
Beliau 'alaihi shallaatu wa sallam menjawab,
'Cinta dunia dan takut mati.'"
(Shahiih, HR. Abu Dawud, no. 4297, Ahmad, V/287, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, no. 958)

Kalau begitu, maka wajib atas para 'ulamaa untuk berjihad dengan melakukan tashfiyah (pemurnian) dan tarbiyah (mendidik) dengan cara mengajari kaum muslimin tauhid yang benar dan keyakinan-keyakinan yang benar serta ibadah-ibadah dan akhlak. Semuanya itu sesuai dengan kemampuannya masing-masaing di negeri-negeri yang dia diami, karena mereka tidak mampu menegakkan jihad menghadapi Yahudi dalam satu shaf (barisan) selama mereka keadaannya seperti keadaan kita pada saat ini, saling berpecah-belah, tidak berkumpul atau bersatu dalam satu negeri maupun satu shaf (barisan), sehingga mereka tidak mampu menegakkan jihad dalam arti perang fisik untuk menghadapi musuh-musuh yang berkumpul atau bersatu memusuhi mereka. Akan tetapi kewajiban mereka adalah hendaknya mereka memanfaatkan semua sarana syar'i yang memungkinkan untuk dilakukan, karena kita tidak memiliki kemampuan materi, dan seandainya kita mampu pun, kita tidak mampu bergerak, karena terdapat pemerintahan, pemimpin dan penguasa-penguasa dalam kebanyakan negeri-negeri kaum muslimin menjalankan politik yang tidak sesuai dengan politik syar'i, sangat disesalkan sekali. Akan tetapi kita mampu merealisasikan -dengan izin Allaah Subhanahu wa Ta'ala- dua perkara agung yang saya sebutkan tadi, yaitu tasfiyah (pemurnian) dan tarbiyah (pendidikan). Dan ketika para da'i muslim menegakkan kewajiban yang sangat penting ini di negeri yang menjalankan politiknya tidak sesuai dengan politik syar'i, dan mereka bersatu di atas asas ini (tasfiyah dan tarbiyah), maka saya yakin pada suatu hari akan terjadi apa yang Allaah Jalla fii 'Ulaahu katakan :

وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ بِنَصْرِ اللَّهِ

Artinya :
"Dan di hari itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allaah."
(QS. Ar-Ruum [30] : 4 - 5)

[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du'atal Islam, li Syaikhil Islam Muhammad Nasruddin Al-Albani, hal. 44 - 51]

Artikel Terkait:

0 komentar: