Desa
Tradisional Wana terletak di Kecamatan Melinting Kabupaten Lampung
Timur. Desa ini merupakan salah satu dari tujuh desa inti kediaman
masyarakat Lampung Melinting. Begitu mamasuki desa ini pemandangan mata
kita langsung tertuju ke deretan rumah-rumah panggung yang terletak di
kanan-kiri jalan raya, yang masih terawat dengan baik dan dihuni oleh
penduduknya. Itulah salah satu tipe rumah dengan arsitektur tradisional
Suku Lampung yang menjadi eyecatching manakala kita
memasuki desa tersebut. Rumah panggung masyarakat Lampung Melinting
memiliki ornament ukuran khas Lampung. Suasana kehidupan khas masyarakat
adat Lampung Melinting masih terasa di sini, berikut acara-acara
tradisi yang masih dilaksanakan masyarakat setempat seperti upacara
perkawinan, pertemuan adapt lainnya. Masyarakat Lampung Melinting
termasuk ke dalam masyarakat adat Lampung Saibatin (Lampung Peminggir,
Lampung Pesisir).
Pada
tahun 1990-an Pemerintah Provinsi Lampung menetapkan Desa Tradisional
Wana sebagai salah satu obyek pariwisata budaya. Ungkapan Indonesia
“pariwisata budaya” atau sering diringkas menjadi “wisata budaya”
terbentuk dari dua kata baru yang berasal dari bahasa Sansekerta.
Istilah pariwisata, yang telah secara resmi menggantikan istilah
tourisme setelah Musyawarah Nasional Taurisme II, pada tahun 1958,
mengandung arti pelesir dan hiburan. Adapun istilah budaya, yang muncul
pada tahun 1930-an sebagai pengganti istilah Belanda cultuur, mengandung
artian pelesiran dan hiburan dengan maksud mengembangkan nalar dan
watak seseorang.
Dengan
mengunjungi Desa Wana kita bisa mengenali sejumlah aspek budaya Lampung
mulai dari mengenali asal-usul keratuan Melinting, manusinya, rumah
panggungnya, bahasanya, kehidupan masyarakatnya, adat istiadatnnya,
benda-benda budayannya, kreasi kesenian tradisionalnya, dan entah apa
lagi. Berikut akan dilihat beberapa aspek budaya dari masyarakat adapt
di Desa Wana.
Asal-usul Keratuan Melinting.
Setelah
runtuhnnya kerajaan Majapahit sekitar awal abad ke 15, timbulah
kerajaan Islam di Pulau Jawa. Hasil perjuangan umat Islam yang
dipelopori para wali yang dikenal dengan julukan Walisongo atau 9 wali.
Salah satu di antara walisongo itu adalah Syarif Hidayatullah yang
kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati di Cirebon Jawa Barat,
setelahSyarif Hidayatullahberhasil menaklukan Jawa Barat termasuk
daerah Banten, maka banten diserahkan kepada anaknnya yang tua Maulana
Hasanuddin yang bergelar Pangeran Sabakingking. Maulana Hasanuddin jadi
Sultan di Banten, ia berkuasa dan memerintah Banten dengan penuh
kebijaksanaan, adil dan membimbing rakyat Banten berdasarkan ajaran
agama Islam.
Pada
suatu ketika, Sultan Maulana Hasanuddin mengirim utusan ke Lampung
untuk berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam. Adapun yang diutus
Sultan Banten itu adalah dua juru dahwah yaitu Ratu Saksi aliasaru Saksi
kemudian disebut Darah Putih dan Ratu Simaringgai yang kemudian
bergelar Ratu Melinting. Karena penyebaran Agama
Islam di Lampung antara lain melalui Labuhan Maringgai sekarang, yang
berada di bawah kekuasaan Ratu Pugung dan mereka mengajarkan agama Islam
terhadap Ratu Pungung dan rakyat Keratuan Pugung sampai berbulan-bulan.
Ratu Pugung mempunyai cucu dua orang gadis yaitu yang bergelar Putri
Sinar Alam, anak dari Singindor Alam merupakan anak tertua Ratu Pugung.
Satunya lagi bergelar Putri Sinar Kaca, anak dari Gayung Garunggung yang
merupakan anak Ratu Pugung yang lebih muda.

Peristiwa
ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1575 Masehi. Setelah Minak
Kejala Ratu Minak Kejala Bidin menghadap Sultan Maulana Yusuf di Pusiban
Agung, Sultan Maulana Yusuf meminta tanda bukti dari mereka berdua,
kalau benar mereka berdua anak pamannya yang bergelar Ratu Saksi dan
Ratu Simaringgai. Minak Kejala Ratu dan Minak kejala Bidin
memperlihatkan cincin yang dipakai mereka kepada Sultan Banten. Cincin
itu adalah emas kawin ibu mereka berdua yang di bawa bapak mereka dari
Banten sewaktu ditugaskan Sultan Maulana Hasanuddin menyebarkan agama
Islam di Lampung.
Setelah
Sultan Maulana Yusuf memeriksa cincin yang diperlihatkan mereka berdua
berdua, Maulana Yusuf menegaskan bahwa mereka benar anak pamannya dan
itu berarti adiknya juga. Maulana Yusuf juga menegaskan bahwa mereka
tidak perlu menunggu ayahnnya, ayah mereka sedang bertugas jauh untuk
berdakwah dan sulit mencari mereka. Sultan meminta mereka untuk
istirahat di Surosowan, yang merupakan istana Sultan Banten. Kurang
lebih seminggu kemudian, Minak Kejala Ratu dan Minak Kejala Bidin
diterima di Pusiban Agung. Sultan memerintahkan mereka berdua agar
kembali ke Lampung mengamankan begitu tiba di Lampung yaiyu di Labuhan
Meringai, maka perlu bermusyawarah agar wilayah kekuasaan Ratu Pugung
dibagi menjadi dua bagian. Yang
di Labuhan Meringgai pusatnnya diperintah Kejala Bidin atau disebut
Keratuan Merinding, sebagian lagi yaitu daerah Kuripan Kalianda dipimpin
Kejala Ratu yang disebut Keraturan Merinding atau Ratu Berdarah Putih.
Manusia
Ulun Lappung atau Jelma Lampung
– keduannya sebutan tersebut berarti orang Lampung – yang maksudnya
orang Lampung asli adalah semua orang asal-usul keturunannya dari zaman
Tulangbawang dan Skala Brak, yang berbahasa dan berkadar budaya Lampung.
Karena bahasa yang dipakai penduduk asli Lampung dapat dibedakan dalam
dua dialek bahasa, maka ulun lappung dapat disebut ‘ruwa
jurai” atau dua kelompok keturunan. Begitu pula pada adat istiadatnya
dapat dibedakan dalam dua golongan, dan sekarang pun masyarakatnya dapat
dibedakan yaitu dalam dua golongan yaitu golingan penduduk asli dan
golongan penduduk pendatang. Oleh karenanya seloka (sesanti) pada
Lampung daerah Provinsi Lampung berbunyi “Sang Bumi Ruwa Jurdi”
atau Bumi kediaman mulia dari dua golongan masyarakat yang berbeda asal
usulnnya, Belakangan ini, ada upaya ingin mengganti seloka tadi menjadi
“Sai Bumi Ruwa Jurai” atau Satu bumi dengan dua
golongan masyarakat adat. Upaya ini harus diwaspadai karena berarti
telah mengubah seloka resmi pada Lambang Daerah Provinsi Lampung yang
telah dituangkan dalam Pelaturan Daerah Provinsi Lampung,
dan menegaskan membatasi artinnya hanya pada tafsiran lama yaitu dua
kelompok masyarakat adat penduduk asli, bukan tafsiran baru yaitu
golongan penduduk asli dan golongan penduduk pendatang. Pada titik ini,
saya meraba sedang terjadinya kebangkitan etnosentrisme suku Lampung.
Hemat saya, hal ini tidak tepat untuk suatu daerah yang dihuni oleh
berbagai suku bangsa. Alih-alih etnosentrisme, yang mesti dikembangkan
di Provinsi Lampung yang multietnik ini semestinya adalah alih
etnosentrisme, yang mesti dikembangkan di Provinsi Lampung yang
multietnik ini semestinya adalah pluralisme atau multikulturalisme yang
dalamnya para pendukung budaya masing-masing etnik mesti mengembangkan
sikap saling memahami dan saling menghargai antar budaya etnik tadi.
Ulun Lappung dalam arti masyarakat adat dapat dibedakan dalam dua golongan masyarakat, yaitu Ulun Pepadun (Abung)
dan Ulun Peminggir (Pesisir). Yang pertama meliputi orang Abung,
Tulangbawang, Waykanan/Sungkai, dan Pubiyan. Yang kedua meliputi orang
Melinding (Labuhan Maringgai), Merinting Rajabasa (Kalianda), Teluk
Lampung, Teluk Semangka, daerah Belalau, Krui, Ranau,
Komering/Kayuagung, dan orang-orang Cikoneng Banten.
Berdasarkan pembagian tadi, maka penduduk Desa Wana termasuk ke dalam Ulul Peminggir (pesisir), yang bermasyarakat adat Saibatin.
Bahasa
Pada
akhir abad ke-19 ada beberapa orang Belanda yang tertarik mempelajari
bahasa Lampung di antarannya H.N. van der Tuuk dan Dr. J.W. van Royen.
Kemudian setelah kemerdekaan Dale Franklin Walker pada tahun 1973
berhasil menyusun tesisnya berjudul A Sketch pf the Lampung Language the Pesisir Dialect of Waylima (Cornel University, USA).
Oleh van der Tuuk, bahasa Lampung dibagi ke dalam dua dialek Abung dan dialek Pubiyan. Pembagian van der Tuuk ini hanya melihat pada masyarakat beradat pepandun. Sedangkan van Royen yang pernah menjadi controleur
dalam pemerintah Hindia Belanda di daerah Lampung sebelum perang dunia
ke dua, membagi bahasa Lampung ke dalam dua dialek berikut: (1) Dialek api yang
digunakan orang-orang Belalau, peminggir Teluk Semangka dan Teluk
Lampung, Tulangbawang Ulu (Waykanan/Sungkai, Komering, Krui, Melinting
dan Pubiyan), dan (2) dialek nyou yang digunakan oleh orang-orang Abung dan Tulangbawang ilir.
Pembagian dialek menurut van Royen menunjukkan pemakaian dialek bahasa itu menurut lingkungan marga (kesatuan masyarakat suku) dan buway
(keturunan kerabat) masing-masing. Termasuk kedalam dialek api, logat
Melinting Maringgai di pakai di daerah Kabupaten Lampung Timur di
Kecamatan Labuhan Maringgai (eks Marga Melinding), Kecamatan Jabung (eks
Marga Jabung dan Sekampung). Kecamatan Jabung sendiri kini sudah
dimekarkan antara lain meliputi Kecamatan Melinting yang dalamnya
termasuk Desa Wana. Dari uraian tadi maka penduduk Desa Wana memakai
dialek bahasa Lampung api atau dialek a.
Rumah dan Balai Adat
Kalau di lingkungan masyarakat adat pepandun dikenal nuwou balak (rumah besar), maka di lingkungan masyarakat adat Saibatin di kenal Lambang gedung (rumah besar), yaitu rumah sebatin punyimbang adat tertinggi di Desa, Rumah Pangeran. Ada juga yang disebut lamban suku, rumah sebatin suku, biasanya kepala adatnya bergelar Radin.
Ruangan
rumah terdiri dari serambi muka, serambi belakang, ruang muka, medan
tengah, dan ruang belakang. Masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda.
Serambi muka untuk menerima tamu laki-laki, duduk-duduk di kala santai.
Ruang muka untuk menerima tamu laki-laki terhormat. Medan tengah untuk
menerima para mirul (kerabat perempuan), dan ruang
belakang untuk perempuan-perempuan yang bekerja atau perempuan
–perempuan yang derajat adatnya rendah. Sedangkan serambi belakang untuk
bujang-bujang manjau (bertamu ke rumah gadis). Bilik atau kamar tidur terletak di kiri kanan bangunan. Kamar paling muka milik anak laki-laki paling tua, atau milik orang tua. Karena
berbentuk rumah panggung, maka terdapat tangga untuk naik ke atas
rumah, yang terletak di sebelah kiri atau kanan rumah atau juga memiliki
dua tangga dua buah yang mempunyai huruf Y. Susunan perumahan sangat
teratur baik, berada di tepi jalan, berdampingan dengan tetangga.
Selain rumah, terdapat juga sesat,
yaitu balai adat tempat musawarah adat dan mengadakan upacara-upacara
adat. Bangunan memanjang lebar, lebih pendek dari bangunan rumah orang
Lampung, tiangnya dari kayu kira-kira satu meter dari tanah, tidak semua
berdinding, sebagian besar berpagar dinding kira-kira satu meter
tingginya; dinding dan lantai terbuat dari papan atau anyaman bamboo;
atap memakai sirap kayu atau genteng. Ruangan terbagi dalam beberapa
bidang yang disebut anjung (serambi). Gajah merem (gajah duduk) tempat prowatin (perwatin para batin, para pembuka adat, sering juga termasuk cerdik pandai adat) istirahat, pusiban (balai penghadapan dan ruang alat perkakas upacara adat). Di masa sekarang bangunan sesat kebanyakan tidak di bangun lagi atau bergabung dengan balai desa.
Mata Pencaharian
Pola mata pencaharian orang Lampung pada mulanya adalah berladang di tanah kering, yang mereka sebut umbul.
Pola pertanian menunjukkan pola primitive, terlihat pada teknologi yang
mereka gunakan, dengan alat-alat yang sederhana seperti beliung dan
parang untuk menebas hutan, cangkul untuk mengolah tanah, dan tugal
untuk menanam padi. Pengelolaan tanah
dilakukan dengan cara membakar hutan untuk mendapatkan lahan baru.
Apabila tanah yang dikerjakan dianggap sudah tidak subur lagi, mereka
pindah ketempat lain. Pengerjaan tanah ini dilakukan bersama-sama dengan
kerabat. Dengan demikian tampak suatu pola, yaitu untuk mencari tanah
garapan, mereka pergi berkelompok dan menetap di tempat yang dituju.
Selanjutnya kelompok ini berkembang menjadi suatu suku dengan seorang
laki-laki tua sebagai kepala kelompok.
Selain padi, sebagai tanaman bahan tanaman pokok, orang Lampung juga menanam jagung dan sayur-sayuran. Tetapi
kebanyakan petani Lampung lebih menyukai tanaman keras, seperti kelapa,
karet, lada, dan kopi (van Ronkel, 1904:75-79; Broesma, 1916: 140-211).
Bentuk dan Upacara Perkawinan Adat Lampung Peminggir
Telah
disebutkan di muka bahwa penduduk DesaWana termasuk ke dalam masyarakat
adat Lampung Peminggir. Oleh karena itu, perkawinan adat yang dianutnya
adalah perkawinan adat Lampung peminggir.
Karena
sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat di Indonesia
berbeda-beda maka terdapat bentuk-bentuk perkawinan yang berbeda-beda.
Dikalangan masyarakat adat yang susunannya partilineal pada umumnya
dianut bentuk perkawinan jujur. Di
kalangan masyarakat adapt yang partilineal alternerend (kesepakatan
beralih-alih) dan mertilineal, pada umumnya dianut bentuk perkawinan mentas. Dari ketiga bentuk perkawinan itu masih terdapat berbagai variasi yang bermacam-macam menurut kepentingan kekerabatan bersangkutan
Bentuk perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran jujur – dalam bahasa Lampung disebut sereh atau seroh, yaitu uang (barang) jujur untuk perkawinan – dari pihak pria kepada pihak wanita. Dengan diterimanya uang atau barang jujur
oleh pihak wanita, maka berarti setelah perkawinan si wanita akan
beralih kedudukannya ke dalam keanggotaan kerabat suami selama ia
mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu, ata sebagaimana berlaku di
daerah Batak dan Lampung untuk selama hidupnya.
Perkawinan
Semanda adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran jujur dari pihak pria
kepada pihak wanita. Setelah perkawinan si pria harus menetap di pihak
kekerabatan istri atau bertanggung jawab meneruskan keturunan wanita di
pihak istri.Adakalanya walaupun tidak ada pembayaran jujur, namun pihak
pria harus memenuhi permintaan uang atau barang dari pihak wanita.
Perkawinan Semanda dalam artinya sebenarnya ialah perkawinan yang
dalamnya suami setelah perkawinan menetap dan berkedudukan dipihak istri
dan melepaskan hak dan kedudukannya di pihak kekerabatannya sendiri.
Yang dimaksud dengan perkawinan mentas
(mencar,Jawa) adalah bentuk perkawinan yang dalamnya kedudukan suami
istri dilepaskan dari tanggung jawab orang tua/keluarga kedua pihak,
untuk dapat berdiri sendiri (mandiri, Jawa) membangun keluarga rumah
tangga yang bahagia dan kekal. Orang tua/keluarga dalam perkawinan
mentas ini hanya bersifat membantu, memberikan “sangu ceceker” atau
bekal hidup dengan pemberian harta kekayaan secara “lintiran”
(perwarisan sebelum orang tua wafat) berupa rumah atau tanah perkawinan
sebagai bawang “gawang” (Pembawaan) ke dalam perkawinan mereka, yang
dapat dilakukan oleh kedua pihak orang tua/ keluarga baik dari pihak
suami maupun dari pihak istri. Dalam pelakanaan perkawinan mentas yang
penting adalah persetujuan ke dua orang atau wali dari pria dan wanita
bersangkutan, begitu pula adanya persetujuan antara pria dan wanita yang
akan melakukan perkawinan itu. Di dalam persetujuan perkawinan tidak
ada sangkut paut masalah hubungan kekerabatan, bahkan jika perlu cukup
dengan hubungan ketetanggaan saja. Setelah terjadinya perkawinan tidak
merupakan masalah apakah suami akan ikut di pihak istri atau sebaliknya.
Kesemuannya itu diserahkan kepada kesedian dari pria dan wanita yang
melakukan perkawinan, oleh karena dalam bentuk perkawinan mentas tidak
ada masalah perkawinan jujur atau perkawinan semanda.
Dari
ketiga bentuk perkawinan tadi, termasuk ke dalam bentuk yang manakah
perkawinan adat Lampung peminggir yang penduduk Desa Wana termasuk ke
dalamnnya? Menurut Hilman Hadukusuma, bentuk perkawinan semanda “mati tungumati manuk”
(tungaunya mati ayamnya mati) di daerah Lampung beradat Pemingir, atau
dalam bentuk perkawinan “nyalindung ka gelung” (berlindung di bawah
gelung) di daerah Pasundan, antara wanita kaya dengan pria miskin..
Dilihat
dari kedudukan hokum suami istri daam perkawinan semanda, maka terdapat
lima macam bentuk perkawinan semanda yaitu semanda raja-raja, semanda
lepas, semanda rungu, semanda anak dagang, dan semanda ngangkit. Dari
kelima macam bentuk perkawinan semanda perkawinan tersebut, di daerah
Lampung pesisir yang pada umumnya beradat “peminggir” terpakai bentuk
perkawinan semanda lepas, dalam arti setelah terjadi perkawinan maka
suami melepaskan hak dan kedudukannya di pihak kerabatnya dan masuk pada
kekerabatan istri. Jika terjadi perceraian maka
si suami dipersilahkan meninggalkan tempat kediaman dan kekerabatan
istri tanpa sesutu hak, baik terhadap harta pencaharian maupun
anak-anak. Orang Lampung mengatakan kedudukan suami itu lop batu lop asahan (lepas batu lepas asahnya), dan itu harus sampai mati mengabdi di pihak kerabat istri (mati tungu mati manuk, tungaunya amati ayamnya mati).
Di
samping perkawinan semanda lepas, pada masyarakat adat Lampung pesisir
juga dikenal perkawinan semanda anak dagang atau semanda burung.
Perkawinan semanda anak dagang cukup diadakan secara sederhana saja,
bahkan setelah perkawinan adakalanya kedatangan suami menurut
waktu-waktu tertentu saja, misalnya datang ke tempat istri setelah waktu
maghrib dan pergi kembali setelah subuh (“semanda nabuh beduk, Lampung).
Kedatangan suami hanya untuk memberi nafkah dan tidak ada tanggung
jawabnya terhadap rumah tangga. Apabila perkawinan semanda ini dilakukan
oleh orang kaya atau bermartabat, maka tidak ada bedanya dengan
perkawinan “manggih kaya” di Jawa, hanya kedudukan istri tetap berada di
pihak kerabatnya sendiri.
Di samping itu, ada juga bentuk semanda pada masyarakat Lampung yang menganut kawin jujur, yang disebut jeng mirul, berkedudukan sebagai mirul,
maksudnya setelah perkawinan suami berkedudukan di pihak istri
melanjutkan dan mempertahankan kedudukan dan keturunan dipihak istri.
Di
Pulau Sumatera antara masyarakat adat yang satu dan masyarakat adat
yang lain terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok, walaupun
masyarakat adat itu termasuk dalm satu lingkaran hukum, adat
(adatrechtskringen) sebagaimana pembagian lingkaran hukum adat menurut
Van Vollenhoven (ibal serbo) dan turun duway (turun
mandi). Sedangkan tata cara dan upacara perkawinan adat pepaduan pada
umumnya berdasarkan perkawinan jujur yang pelaksanaannya dapat dengan
cara hibal serba, bumbang aji, untar padang, intar manom, cakak manuk,
dan sebambangan..
Sebambangan
dan belarian juga dikenal dalam perkawinan adat Lampung Peminggir.
Demikianlah, hubungan yang berlaku antara bujang dan gadis untuk dapat
terwujudnya ikatan perkawinan dapat ditingkatkan penyelesaiannya oleh
orang tua-tua. Dalam hal ini si bujang mengajukan masalahnya pada orang
tuanya berdasarkan permintaan si gadis, atau karena melihat si gadis
tentu tidak akan menolak adanya lamaran orang tua si bujang. Tetapi
tidak selamanya keinginan bujang-gadis itu dapat diterima dan disetujui
oleh orang tua salah satu pihak atau kedua pihak. Oleh
karenanya di lingkungan masyarakat adat walaupun perbuatan berlarian
untuk kawin itu tidak dibenarkan, namun sering terjadi perbuatan bujang
dan gadis berlarian untuk melakukan perkawinan (“vluchthuwelijk,
wegloop-huwelijk”, Belanda; “mangalua” Batak; “Selarian”, Bengkulu;
“sebambangan, metudau”, Lampung; “nyolong”, Banyuwangi; ”merorod,
Merangkat”, Bali; “sila riang”, Bugis; “lari bini”, Ambon).
Hal
ini sering terjadi walaupun sebenarnya perbuatan itu merupakan
perbuatan yang melanggar hukum adat, yang akibatnya akan dikenakkan
hukuman (denda) karena terpaksa untuk menghindari persyaratan adat.
Perbuatan
belarian bujang gadis ini ada yang dilakukan dengan rencana bujang
gadis sendiri, dan ada pula yang direncanakan oleh orang tua bujang
berdasarkan kehendak gadis (belarian) atau hanya kehendak pihak bujang
(melarikan, schaakhuweljik, Belanda). Melaksanakan belarian untuk
perkawinan kebanyakan karena maksud untuk menghindari perkawinan dengan
upacara adat meminang (“pineng”, Lampung) dengan melalui acara
pertunangan (“adat na-sogok”, Batak) yang akan memakan biaya banyak.
Latar
belakang terjadinya belarian bujang gadis untuk maksud perkawinan
antara lain karena (1) syarat-syarat pembayaran, pembiayaan dan upacara
perkawinan yang diminta pihak gadis tidak dapat dipenuhi pihak bujang
(2) gadis belum diijinkan orang tuanya untuk bersuami tetapi disebabkan
keadaan gadis bertindak sendiri, (3) orang tua atau keluarga gadis
menolak lamaran pihak bujang, lalu gadis bertindak sendiri, (4) gadis
telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tidak disukai oleh si
gadis, (5) gadis dan bujang telah berbuat yang bertentangan dengan hukum
dan hokum gama (gadis sudah hamil, dan lain-lain).
Terjadinya
belarian untuk perkawinan tidak saja dilakukan oleh bujang terhadap
gadis, tetapi juga oleh orang yang sedang dalam ikatan perkawinan atau
sudah pernah kawin (duda).
Pada
umumnya perbuatan belarian bujang gadis untuk maksud perkawinan adalah
perbuatan yang melanggar hukum adat, melanggar kekuasaan orang tua, dan
menjatuhkan kehormatan martabat orang tua dan kerabat gadis. Namun
karena masyarakat adat berpegang pada azas kerukunan dan kedamaian, maka
perbuatan belarian itu dapat dimaafkan dengan penyelesaian perundingan
antara kerabata kedua pihak.
Dibeberapa daerah sebagaimana berlaku di daerah Lampung terdapat tata tertib belarian bujang gadis seperti berikut :
Gadis
yang akan belarian dengan bujang harus berangkat pergi dari rumah orang
tuanya, ia tidak boleh belarian ketika didalam perjalanan atau dari
tempat-tempat yang bukan rumah orang tua/keluarga yang akan
melahirkannya. Meninggalkan rumah orang tua/keluarga tempat kediamannya dapat dilakukan pada waktu siang atau malam.
Gadis
yang pergi belarian harus meninggalkan tanda kepergiannya, berbentuk
surat dan sejumlah uang menurut ketentuan adat setempat (tengepik,
peninggalan, Lampung). Isi surat berbunyi permintaan maaf si gadis
kepada orang tuanya atas kepergian tanpa ijin untuk maksud perkawinan
dengan pemuda yang disebut nama dan kerabatnya, serta alamatnya.
Biasanya tanda kepergian itu diletakkan ditempat tersembunyi dikamar si
gadis, dibawah kasur atau ditempat mengambil beras sehari-hari, dan
lain-lain. Di daerah Lampung beradat peminggir setelah beberapa saat si
gadis meninggalkan rumahnya, ada beberapa orang suruhan si bujang
menyampaikan “babatahu”, yaitu pemberitahuan bahwa si gadis telah
belarian dengan bujang.
Gadis
dan bujang yang belarian harus dating melapor dan meminta perlindungan
ke rumah kepala adat pihak bujang, tua-tua kerabat dikediaman bujang
atau kepala kampungnya. Tua-tua adat pihak bujang mengadakan musyawarah
darurat untuk mencari penyelesaian dengan pihak kerabat gadis. Selama
persoalan belum ada gambaran untuk perundingan diantara kedua pihak maka
gadis harus tetap berada di bawah pengawasan kepala adat. Di daerah
Lampung peminggir biasanya dari pihak gadis ada yang datang menanyakan
ke tempat kepala adat bujang, apakah anak mereka pergi belarian itu atas
kemauannya sendiri (nyusul tapak, nyusul luyut, lampung). Jika gadis
menyatakan bahwa ia diambil bujang dengan paksaan, maka pihak gadis
berhak mengambil anak gadisnya dari tangan kepala adat bujang.
Di
daerah Lampung beradat pepadun, setelah gadis berada ditangan kepala
adat bujang, maka dalam waktu 1 kali 24 jam dalam jarak dekat atau 3
kali 24 jam dalam jarak jauh (menurut keadaan), kepala adat bujang harus
mengirim utusan untuk menyatakan permintaan maaf, mengakui kesalahan
dan memohon perundingan (ngantak salah, ngantak pengundur senata,
ngantak tali pengendur, ngantak rukuk tembakau, lampung; ngeluku,
Bali). Syarat-syarat yang harus dibawa urusan antara lain keris,
tumbak, dan sejumlah uang. Apabila pihak gadis menerima permintaan maaf
dari pihak bujang maka kemudian akan disusul dengan acara perundingan
dan perkawinan. Di daerah Tulang Bawang untuk
menyejukan hati pihak gadis, begitu si gadis diambil dengan cara
belarian, maka pihak bujang berkali-kali mengirim ikan dan rempah-rempah
kepada pihak gadis.
Apabila
pintu terbuka untuk perundingan antara pemuka adat pihak bujang dan
pemuka adat pihak gadis, maka utusan pihak bujang dating ke tempat
kerabat/orang tua gadis dengan emmbawa bahan hidangan, jika pihak gadis
ingin melihat calon menantunya, maka si bujang dapat dibawa pula untuk
diperlihatkan (nontoni, jawa). Di dalam perundingan biasanya pihak gadis
meminta agar anak gadisnya dikembalikan untuk dilaksanakan pernikahan
di rumah orang tua gadis, meminta uang jujur, uang permintaan, mas kawin
dan biaya-biaya yang diperlukan termasuk denda-denda adat dan
lain-lain. Dan mungkin juga pihak bujang tidak banyak diminta apa-apa,
karena pihak gadis menghendaki dilakukan perkawinan semanda
(matrilokal). Pertemuan untuk mencapai kesepakatan kedua pihak
kadangkala memakan waktu beberapa kali perundingan. Adakalanya karena pihak gadis tidak sepakat, orang tuanya hanya memberikan surat wali untuk nikah. Dalam
keadaan demikian perkawinan berlangsung juga tetapi kurang baik, karena
pihak gadis banyak yang tidak mau hadir untuk menyaksikan perkawinan
itu.
Mengenai besarnya uang peninggalan (tengepik)
untuk gadis belarian serendah-rendahnya Rp. 2.400,- tetapi yang banyak
dipakai adalah sebesar Rp. 24.000,- dan yang luar biasa mencapai angka
Rp. 240.000,- (angka 24 bernilai magis untuk golongan masyarakat yang
bermartabat tinggi, golongan menengah bernilai magis 12 dan golongan
rendah bernilai 8 Atau 6). Demikian pula besarnya denda belarian yang
harus dibayar pihak pria, misalnya seperti yang berlaku dilingkungan
masyarakat Bandar-kup Way Seputih, gadis belarian bukan dari rumah di
kampung dendanya Rp. 2.400,-, kekecewaan hati kerabat karena belarian,
dendanya Rp. 1.200,- dan gadis yang menjatuhkan nilai pribadinya
dendanya Rp. 120,- dan jika pihak bujang tidak menyampaikan kesalahan
(pengundur senatou) dendanya Rp. 600,-.
Selain
dari perbuatan belarian untuk perkawinan atas persetujuan bujang gadis,
dapat pula terjadi perbuatan bujang “melarikan” gadis tanpa persetujuan
si gadis baik dengan akal tipu, dengan kekerasan atau ancaman (neket,
nunggang, lampung ; nelegandang, Bali), dan atau si bujang atau si gadis
yang datang kerumah orang tua gadis atau bujang untuk meminta kawin
dengan orang tua gadis.
Latar belakang terjadinya perbuatan memaksa untuk kawin antara lain karena ;
si
gadis meminta agar bujang dan orang tuanya datang melamar, tetapi pihak
bujang tidak dating atau tidak sanggup melamar, sedangkan gadis tidak
mau belarian.
si gadis telah menjanjikan waktunyan untuk belarian dengan bujang, tetapi ternyata ia ingkar janji.
si bujang merasa tidak akan dapat mempersunting si gadis tanpa ia menempuh jalan melarikan si gadis.
si bujang merasa tidak akan dapat mempersunting si gadis tanpa ia datang meminta kawin dengan orang tuanya.
si gadis merasa tidak akan dapat kawin dengan si bujang tanpa ia datang meminta kawin dengan orang tuanya.
Di
daerah lampung perbuatan” melarikan “ masih juga sering terjadi, walau
hanya dengan akal tipu, misalnya gadis diakan berjalan-jalan dengan
mobil, tetapi bukan pergi berjalan-jalan atau tamasya, melainkan tanpa
persetujuan si gadis dibawa kerumah kerabat bujang. Apabilai si gadis
tidak dapat menerima perbuatan tersebut, maka akan terjadikan keributan
dan dicampuri oleh alat Negara, bahkan di antaranya terus menjadi
perkara di muka pengadilan negeri.
Kain.
Desa Tradisional Wana juga merupakan sentra kerajinan kain tapis, yaitu
kain tenun Lampung yang di sulam dengan benang emas. Menurut Anshori
Djausal dan Khaidir Asmuni, kain yang digunakan oleh masyarakat adat
saibatin dalam acara adat adalah kain tampan. Pada setiap acara adapt
Lampung saibatin, kain selain memberikan lambang ritual, juga
menunjukkan tingkat sosial pemilik kain. Sedangkan pada masyarakat adat
pepadun, digunakan kain tipis yang menunjukkan tingkat kehormatan. Baik
kain tipis maupun kain tampan, disinyalir merupakan pengaruh Islam.
Arus imigrasi yang mempengaruhi Sumatra pada 2000-1500 sebelum Masehi
tidak ketinggalan telah membuat benang emas popular saat itu. Hal ini diduga yang memunculkan kedua jenis kain itu.
Tari Melinting
Salah
satu kesenian tradisional yang hidup di Desa Wana adalah Tari
Melinting. Di lihat dari sejarahnya, tarian ini merupakan tari adat
tradisional Keagungan Keratuan Melinting yang diciptakan oleh Ratu
Melinting yaitu Pangeran Panembahan Mas, yang dipentaskan pada saat
acara Gawi Adat (Betawi). Tari Melinting ini merupakan tari tradisional
lepas untuk hiburan pelengkap pada saat acara Gawi Adat.
Fungsi
Tari Melinting dahulu merupakan tarian Keluarga Ratu Melinting dan
hanya dipentaskan oleh Keluarga Ratu saja ditempat yang tertutup (sessat
atau balai adat), tidak boleh diperagakan oleh sembarang orang. Pementasannya pun hanya pada saat Gawi Adat Keagungan Keratuan Melinting saja. Personal penarinya pun hanya sebatas pada putra putrid Ratu Melinting.
Namun,
dalam perkembangannya sekarang tari melinting tidak lagi mutlak sebagai
tarian keluarga Ratu Melinting dan tidak lagi berfungsi sebagai
tari upacara tetapi sudah bergeser menjadi tari pertunjukan atau
tontonan pada saat penyambutan tamu-tamu agung yang datang ke daerah
Lampung serta acara-acara besar lainnya seperti acara kesenian Lampung,
Festival Tari dan lain-lain. Baru-baru ini yaitu pada Bulan April 2007
yang lalu Tari Melinting dipentaskan secara masal terdiri dari 25 pasang
penari dalam upacara penutupan Musyabaqoh Tilawatil Quran tingkat
Provinsi Lampung yang dilaksanakan di Pusat Kegiatan Olah Raga Way Halim
Bandar Lampung. Hal ini berarti juga bahwa Tari Melinting sudah
tersebar luas di Provinsi Lampung.
Berikut ini secara sekilas akan digambarkan bentuk penyajian Tari Melinting. Menurut
Sudarsono, bentuk penyajian adalah wujud tarian secara keseluruhan yang
dipertunjukkan dengan melibatkan elemen-elemen dalam komposisi tari.
Adapun elemen-elemen tersebut adalah elemen gerak, iringan (musik), tat
arias, busana, tempat pertunjukan, dan property.
Gerak,
Elemen gerak merupakan salah satu unsure poko dalam tari. Gerak dalam
tari terwujud setelah anggota-anggota badan manusia yang telah terbentuk
digerakkan. Gerak merupakan substansi dari tari. Namun, tidak semua
gerak bisa disebut sebagai tari. Hanya gerak yang sudah mengalami
penggarapan, pemiliki makna dan nilai estetis, yang dapat disebut
sebagai gerak tari.
Menurut
Lentuk geraknya terdapat dua jenis gerak, yaitu gerak murni dan gerak
maknawi. Gerak murni adalah gerak yang digarap sekedar untuk mendapatkan
bentuk artistic dan tidak dimaksudkan untuk menggambarkan sesuatu.
Gerak maknawi adalah gerak yang mengandung arti yang jelas dan sudah
mengalami setilisasi atau distorsi. Gerak murni banyak digunakan dalam
garapan tari yang non representasional, sedangkan gerakan maknawi banyak
terdapat dalam garapan tari yang representasional, namun dengan tidak
menutup kemungkinan masuknya gerak murni.
Gerak
dalam tari Melinting adalah gerak gerak maknawi, yaitu setiap gerakan
mempunyai maksud atau makna. Pada adegan pembukaan, makna gerak adalah
bahwa putra dan putri punyimbang melakukan penghormatan kepada para
punyimbang/tamu agung. Pada adegan kugawo Ratu, makna gerak adalah
melambangkan keperkasaan putra putri punyimbang. Pada adegan knui
melayang, keagungan dan kelemah lembutan punyimbang ungkapan keleluasaan
berpendapat/bersikap. Pada adegan penutup, makna gerak adalah bahwa
putra putrid punyimbang penghormatan pada punyimbang.
Gerakan
yang dipakai pada tari Melinting dibedakan antara gerakan penari putra
dan putrid meliputi : babar kipas, jong sumbah, sukhung, sekapan balik
palau, kenui melayang nyiduk, salaman, suali, niti batang, luncat
kijang, dan lapah ayun.
Gerak penari putrid meliputi babar kipas, jong sumbah, sukhung, sekapan, timbangan/ terpipih mabel melayang, ngiyau bias, nginjak lado, nginjak tahi manuk, lapah ayun.
Musik
atau iringan. Elemen iringan (musik) dalam tari bukan hanya sekedar
iringan, karena musik merupakan patner yang tidak dapat ditinggalkan.
Oleh karena itu musik yang dipegunakan untuk mengiringi tari harus
digarap betul-betul sesuai dengan garapan tarinya. Dalam hubungannya
dengan seni tari, pada umunya iringan berfungsi sebagai penguat atau
pembentuk suasana. Iringan dibagi dua macam, yaitu musik internal dan
musik eksternal. Musik internal adalah musik yang bersumber dari diri
penari, misalnya suara yang ditimbulkan dari tepukkan tangan, vokal
penari, dan hentakan kaki penari. Sedankan musik eksternal adalah musik
yang berasal dari alat musik instrumental, misalnya piano, gitar dan
gamelan.
Fungsi
musik ada tiga, yaitu sebagai pengiring, pemberi suasana, dan
ilustrasi. Sebagai pengiring tari, bearti peranan musik hanya mengiringi
atau menunjang penampilan tari. Fungsi musik sebagai pemberi suasana
berarti musik dipakai untuk membantu suasana adegan dalam tari.
Sedangkan fungsi musik ilustrasi hanya berfungsi sebagai pengiring.
Iringan
pada tari Melinting adalah iringan atau musik eksternal nama
seperangkat instrument yang digunakan adalan kalo bala (kelittang).
Jenis tabuhan yang digunakan adalah tabuh harus pada adegan penbukaan,
tabuh cetik pada adegan punggawo ratu, tabuh kedangdung pada adegan
mulai batangan, tabuh kedangdung pada adegan knui melayang, dan tabuh
arus pada adegan penutup.
Tata rias.
Tata
rias adalah seni menggunakan bahan-bahan kosmetik untuk mewujudkan
wajah peranan. Fungsi rias adalah memberikan bantuan dengan jalan
memberikan dandanan atau perubahan pada pemain hingga berbentuk suasana
yang cocok dan wajar.
Bagi
seorang penari, rias merupakan hal yang sangat penting. Pemakaian tata
rias yang digunakan untuk pertunjukkan akan berbeda dengan tatarias
sehari-hari. Tata rias yang dipakai sehari-hari pemakaiannya cukup tipis
dan tidak memerlukan garis-garis kuat pada bagian wajah. Sedangkan
untuk tat arias pertunjukkan tari, segala sesuatu diharapkan lebih jelas
dan lebih tebal hal ini penting sekali dalm pertunjukkan tari, karena
untuk memperkuat garis-garis ekspresi dan menambah daya tarik
pemampilan. Maka tata rias merupakan hal penting dalam pertunjukkan tari
karena membantu penari untuk membedakan karakter.
Tata
rias yang digunakan penari putrid dalam tari Melinting adalah rias
cantik. Pada prinsipnya rias wajah pada tari Melinting adalah untuk
membuat wajah cerah dan terlihat cantik, sementara untuk penari putera
hanya menggunakan bedak untuk alas dari rias wajah.
Tata busana.
Busana
tari tidak sama dengan pakaian sehari-hari. Fungsi fisik busana adalah
sebagai penutup dan pelindung tubuh, sedangtkan fungsi sttiknya
merupakan unsure keindahan dan keserasian bagi tubuh penari.
Fungsi
busana juga tidak jauh berbeda dengan tata rias, yaitu mendukung tema
atas isi dan memperjelas peranan-peranan dalam suatu sajian tari. Dalam
perkembangannya, pakaian tari telah disesuaikan dengan kebutuhan tari
tersebut. Busana tari yang baik tidak hanya sekedar untuk menutup tubuh
semata, melainkan juga harus dapat mendukung penampilan tari. Busana
tari dipergunakan untuk melukiskan sesuatu oleh penciptanya dan dipakai
oleh penarinya dan tidak terlepas pemilihan nilai terhadap warna, garis
dan bentuk. Maka, tata busana selain untuk memperkuat peranan, pemilihan warna, garis dan bentuk, juga bias mendalami kejiwaan seni tari, serta akan memberi suasana yang dimaksudkan.
Dalam
tari Melinting, busana yang digunakan penari putrid adalah siger
bercadar bunga pandan Subang, kalung buah jukum, gelang kano, bulu
seretei, gelang rui sesapurhanda, tapis, dan jungsarat. Adapun
busana penari putra adalah kopiah emas, kembang melur bunga pandan,
buah jukum, jungsarat, papan jajar, bulu seretei, sesapur handap, injang
tuppal, celana reluk belanga, lengan tanpa aksesoris, dan telapak kaki
tanpa alas dan kaos kaki.
Tempat pertunjukkan.
Tempat
pertukkan adalah tempat yang digunakan untuk mempergelarkan suatu
pertunjukkan atau pementasan. Tempat pertujukkan dapat berupa panggung
proscenium, yaitu tempat pertunjukkan yang hanya dapat dilihat satu arah
atau dari depan. Adapun bentuk-bentuk arena pertunjukkan antara lain arena sentral, tapal kuda, dan setengah lingkaran (arena terbuka).
Tempat
pertunjukkan yang berbentuk arena sentral biasanya tempat yang
digunakan untuk pentas yang berada ditengah penonton. Pada tempat pentas
bentuk tapak kuda, penonton berada di depan, serta di samping kanan dan
kiri tempat pertunjukkan. Adapun bentuk setengah lingkaran (arena
terbuka), antara penonto dengan tempat pertunjukkan biasanya disekat
oleh pembatas.
Tari
Melinting dipentaskan di tempat upacara adat yang sedang berlangsung
atau bisa juga di tempat pertunjukkan lainnya, baik berupa panggung
proscenium, arena sentral, tapal kuda maupun setengah lingkaran.
Properti.
Properti
adalah perlengkapan yang tidak termasuk kostum dan perlengkapan
panggung, tetapi merupakan perlengkapan yang ikut ditarikan oleh penari.
Property adalah semua peralatan yang
dipergunakan untu kebutuhan suatu penampilan tataan tari atau
koreografi. Propreti adalah alat-alat yang dibawa dan digunakan penari
sebagai pelengkap sesuai tuntutan tari tersebut.
Properti yang digunakan oleh penari putrid dan putra pada tari Melinting adalah kipas yang dipegang di kiri kanan tangan penari.
Untuk
uraian lebih rinci mengenai tari Melinting yang meliputi makna tari,
urutan penyajian tari, uraian ragam gerak penari putra dan penari
putrid, jumlah hitungan, dan pola lantai dapat dilihat pada bagian
lampiran yang merupakan Deskripsi Tari Melinting yang disusun oleh Taman
Budaya Provinsi Lampung.
Sumber :
Makalah disampaikan pada Kegiatan Penayangan Film dan Diskusi Nilai Budaya yang
diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Bandung bekerjasama dengan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi
Lampung Pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 21 Juli 2007 di Gedung Pemda Provinsi Lampung Lt 1 Ruang Abung Bandar Lampung.
Artikel Terkait:
Traveling
0 komentar:
Posting Komentar